AS Tahan WNI dengan Riwayat Kriminal

3 hours ago 1
AS Tahan WNI dengan Riwayat Kriminal Departemen Keamanan Dalam Negeri AS dalam akun X mengunggah foto wajah seseorang diduga WNI Chrissahdah TOOY.(X @DHSgov)

PIHAK Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE) menangkap seorang warga negara Indonesia (WNI) di Los Angeles atas dugaan keterlibatan sejumlah tindak kriminal. Demikian pengumuman Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (Homeland Security) dalam akun X-nya, Sabtu (7/6).

"Pada 7 Juni 2025, ICE Los Angeles secara administratif menangkap Chrissahdah TOOY, 48 tahun, warga negara Indonesia. TOOY memiliki riwayat kriminal yang mencakup vonis atas kasus narkotika, mengemudi di bawah pengaruh alkohol, dan masuk secara ilegal," tulis akun @DHSgov.

Tidak ada informasi tambahan yang diberikan terkait lokasi penahanan saat ini atau status hukum terkini dari TOOY. Namun, unggahan tersebut menampilkan foto wajah Chrissahdah TOOY yang tampak diambil dari sistem penahanan ICE. 

Penangkapan tersebut berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan di wilayah Los Angeles menyusul rangkaian penggerebekan yang dilakukan agen ICE sejak awal Juni. KJRI Los Angeles sebelumnya telah mengeluarkan imbauan resmi kepada WNI untuk waspada.

“Sehubungan dengan situasi terkini di Los Angeles dan sekitarnya, KJRI LA mengimbau WNI untuk lebih berhati-hati dan menghindari daerah-daerah yang berpotensi terjadi bentrokan atau demonstrasi terkait isu anti-ICE,” demikian pernyataan KJRI Los Angeles.

Bentrok terus berlanjut

Sementara itu, ratusan pengunjuk rasa di Los Angeles untuk tiga hari berturut-turut terlibat bentrokan dengan polisi sebagai respons terhadap operasi penggerebekan imigrasi oleh otoritas federal di California.

Para demonstran berkumpul di depan gedung federal di pusat kota Los Angeles pada Minggu (9/6) waktu setempat, menuntut penghentian operasi Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) di tempat-tempat kerja di kota terbesar kedua di Amerika Serikat itu.

Kepolisian setempat membubarkan aksi dengan tembakan gas air mata dan menangkap puluhan orang, sebagaimana dilaporkan sejumlah media. Meski demikian, para pengunjuk rasa tetap bertahan dan menolak mundur.

"Komunitas ini sangat kuat, dan inilah alasan kami hadir. Kami akan terus hadir karena, yah, ini adalah kewajiban dan tanggung jawab bagi setiap orang dari kita untuk berada di sini dan melawan penindasan dan para penculik ini," ujar Nabil Shukir seperti dilansir Anadolu.

Menanggapi kerusuhan yang semakin meluas, Presiden Donald Trump memerintahkan pengerahan 2.000 personel Garda Nasional ke wilayah Los Angeles pada Minggu. 

Gedung Putih menyatakan bahwa pengerahan ini dilakukan untuk  menangani pelanggaran hukum yang dibiarkan berkembang biak di negara bagian tersebut.

Menginginkan tonton

Gubernur California Gavin Newsom mengecam langkah yang ditempuh Donald Trump. Ia menolak pengerahan tersebut dan menilai telah terjadi intervensi dari pemerintah pusat terhadap pemerintah negara bagian California. 

"Pemerintah federal mengambil alih Garda Nasional California dan mengerahkan 2.000 tentara di Los Angeles -- bukan karena kekurangan penegak hukum, tetapi karena mereka menginginkan tontonan," katanya dalam sebuah pernyataan.

Wali Kota Los Angeles Karen Bass juga menyuarakan penolakan. Ia menyebut langkah tersebut sebagai eskalasi yang kacau dan memperingatkan dampaknya terhadap rasa aman warga.

"Ketakutan yang dirasakan orang-orang di kota kita saat ini sangat nyata - hal itu dirasakan di komunitas kita dan di dalam keluarga kita dan hal itu membahayakan lingkungan kita," tulis Bass di akun X resminya. 

"Ini adalah hal terakhir yang dibutuhkan kota kita, dan saya mendesak para pengunjuk rasa untuk tetap bersikap damai," tambahnya.

12 negara dilarang

Larangan perjalanan terbaru yang dikeluarkan Donald Trump mulai berlaku kemarin. Keputusan tersebut membatasi secara penuh masuknya warga dari 12 negara, sebagian besar berasal dari kawasan Afrika dan Timur Tengah.

Trump melarang penuh warga dari Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Pembatasan parsial diberlakukan terhadap warga dari Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.

Kebijakan tersebut sebagian besar mengarah ke negara berkembang berpenduduk non-kulit putih. Hal itu memicu kritik luas bahwa kebijakan tersebut bermotif diskriminatif dan bertujuan mengecualikan komunitas tertentu dari akses ke AS.

“Kebijakan ini tidak terkait keamanan nasional, melainkan tentang menyebar kebencian dan menstigmatisasi komunitas yang mencari keselamatan dan peluang di AS,” ujar Presiden Oxfam America, Abby Maxman, seperti dikutip The Guardian.

Berbeda dengan larangan tahun 2017 yang menuai gelombang protes dan dijuluki “Muslim Ban”, kebijakan terbaru ini tidak terlalu menimbulkan kontroversi. Perhatian publik tersita oleh aksi deportasi massal dan pengerahan Garda Nasional oleh Trump ke Los Angeles. (I-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |