Anak Nakal: Cermin Pancasila?

2 weeks ago 28
 Cermin Pancasila? (Dok. Pribadi)

SETIAP tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati kelahiran Pancasila sebagai momen bersejarah mengingatkan kita pada lima prinsip dasar negara yang diikrarkan Ir Soekarno dalam sidang BPUPKI. Namun, di balik perayaan sakral ini tersimpan kenyataan yang menggelisahkan: banyak generasi muda seolah kehilangan arah dan panutan, terjerumus dalam perilaku menyimpang yang menunjukkan kegagalan kita bersama dalam menanamkan nilai-nilai luhur bangsa secara nyata—nilai-nilai seperti toleransi beragama, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi jiwa dari setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lalu, apakah nilai-nilai ini benar-benar hidup dalam keseharian kita, khususnya di kalangan generasi muda? Survei Indeks Aktualisasi Nilai Pancasila (IAP) BPIP 2022 mengungkap adanya jurang antara pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Ini menjadi panggilan mendesak bagi kita semua: bagaimana membumikan nilai Pancasila dalam praktik nyata, bukan sekadar hafalan, terutama di era krisis keteladanan dan dominasi media sosial yang kerap menabrak idealisme Pancasila itu sendiri?

ANAK NAKAL DAN KRISIS KETELADANAN

Sering kali, anak yang berperilaku menyimpang langsung dilabeli sebagai ‘anak nakal’ tanpa mempertimbangkan akar penyebabnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak nakal adalah anak yang mengalami kesulitan dalam perkembangan diri, baik secara mental, sosial, maupun pendidikan, sehingga menunjukkan perilaku menyimpang dari norma sosial, hukum, maupun agama.

Kartini Kartono (2014) melihat anak nakal sebagai mereka yang gagal beradaptasi sosial, melanggar aturan, dan meresahkan masyarakat. Sementara itu, Bimo Walgito (2004) menilai perilaku menyimpang ini muncul akibat kurangnya pembinaan dan pengawasan yang memadai. Pada intinya, perilaku anak yang menyimpang mencerminkan persoalan sosial yang lebih besar, muncul dari lingkungan yang tidak mendukung dan ketiadaan figur panutan yang layak.

Dalam laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023, tercatat lebih dari 2.300 kasus pelanggaran terhadap hak-hak anak. Di sisi lain, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyoroti bahwa akar dari perilaku menyimpang remaja terletak pada minimnya pembinaan dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Anak-anak adalah cerminan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tempat mereka belajar dan tumbuh. Mereka meniru dan menyerap hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan di sekelilingnya, tidak hanya di sekolah, tetapi juga dari perilaku orangtua, guru, tokoh masyarakat, hingga figur publik di media sosial.

Jadi ketika muncul tindakan negatif di kalangan remaja, seperti perundungan, tawuran, bolos sekolah, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan, pertanyaannya tidak sekadar ‘mengapa mereka nakal?’, melainkan juga ‘siapa yang mereka jadikan teladan?’.

Di tengah maraknya ruang digital yang begitu masif dan mudah diakses oleh anak-anak, krisis keteladanan kian nyata. Saat ini kita bukan sekadar menghadapi generasi ‘nakal’, melainkan juga generasi yang kekurangan figur panutan. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan di mana teladan nyata kian langka, dan ruang digital menjadi panggung utama yang mereka tonton dan tiru. Sayangnya, lemahnya keteladanan di kehidupan publik memperburuk situasi ini.

Ketika anak-anak menyaksikan ketidakadilan, kekerasan, korupsi, suap, intoleransi, dan ketimpangan sosial yang terjadi begitu saja di sekitar mereka--tanpa sanksi atau koreksi—mereka kehilangan contoh bagaimana Pancasila semestinya dihayati dan dijalankan.

Ruang digital sejatinya memiliki dua sisi: sumber inspirasi dan juga potensi disinformasi. Tanpa pembekalan yang memadai, anak-anak kesulitan memilah dan menyaring informasi yang mereka temui. Padahal, keteladanan bukan tentang kesempurnaan, melainkan kejujuran, integritas, dan konsistensi dalam bertindak. Keteladanan menjadi jembatan antara nilai dan realitas, juga fondasi utama dalam pendidikan karakter.

Seorang pemimpin atau figur publik yang berintegritas memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada seribu teori moral. Menghidupkan Pancasila di era digital berarti mewujudkannya dalam kebijakan, tindakan, dan perilaku sehari-hari yang berpihak pada nilai persatuan, keadilan, dan kemanusiaan—serta membekali generasi muda agar mampu memfilter apa yang mereka lihat, dengar, dan ikuti.

MENGHIDUPKAN NILAI LUHUR

Ruang-ruang yang menjadi tempat hidupnya nilai-nilai Pancasila bagi anak-anak meliputi keluarga, sekolah, dan komunitas. Keluarga menjadi fondasi pertama dalam menanamkan nilai-nilai tersebut melalui teladan nyata orangtua dan suasana rumah yang penuh kasih, saling menghormati, serta komunikasi terbuka.

Sekolah berperan sebagai miniatur masyarakat Pancasila, tempat anak belajar mengamalkan kejujuran, musyawarah, gotong royong, dan toleransi secara langsung melalui budaya sekolah dan keteladanan para pendidik. Sementara itu, komunitas yang sehat, seperti organisasi pemuda dan kelompok hobi, menyediakan wadah bagi anak-anak untuk mengembangkan keberanian, solidaritas, dan kesadaran demokrasi melalui aktivitas kolektif yang relevan dengan kehidupan mereka.

Namun, di era digital saat ini, ruang digital atau internet juga menjadi lingkungan penting yang tak bisa diabaikan dalam pembentukan karakter anak. Ruang digital menawarkan dua sisi: sumber inspirasi sekaligus potensi disinformasi. Tanpa pembekalan yang tepat, anak kesulitan memilah informasi yang mereka temui.

Karena itu, keteladanan bukan hanya soal kesempurnaan, melainkan juga kejujuran, integritas, dan konsistensi dalam bertindak. Maka, anak-anak perlu dibekali kemampuan untuk memilah dan menyaring berbagai informasi yang mereka terima agar nilai-nilai luhur Pancasila tetap terjaga dan terinternalisasi secara benar.

Anak-anak yang hari ini sering dianggap bermasalah sebenarnya sedang mencari arah dalam hidup mereka. Pancasila seharusnya menjadi kompas moral yang membimbing mereka, bukan sekadar simbol negara atau materi hafalan di sekolah. Mereka memerlukan lebih dari sekadar pengajaran; mereka membutuhkan keteladanan nyata yang bisa mereka contoh dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika terjadi penyimpangan, itu bukan hanya kegagalan anak secara individual, melainkan juga kegagalan bersama kita semua dalam menghadirkan dan menghidupkan nilai luhur bangsa. Karena itu, tanggung jawab kolektif antara keluarga, sekolah, komunitas, media, dan negara sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang menumbuhkan nilai-nilai Pancasila secara berkelanjutan.

Di tengah minimnya figur publik yang layak dijadikan panutan, marilah kita semua—sebagai keluarga, pendidik, komunitas, dan warga negara—menjadi agen perubahan yang nyata. Dengan menanamkan dan menghidupkan nilai Pancasila di lingkungan terdekat dan ruang digital, kita tidak hanya membentuk karakter anak, tetapi juga masa depan bangsa.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |