
DEMOKRASI Indonesia adalah capaian historis sekaligus proyek peradaban yang terus-menerus diuji. Sejak Reformasi 1998, bangsa ini telah melaksanakan pemilihan umum secara berkala, damai, dan relatif tertib. Namun kualitas demokrasi bukan hanya soal prosedur elektoral, tetapi juga soal substansi: apakah demokrasi melahirkan pemimpin yang berintegritas, pemerintahan yang efektif, serta keadilan dan kemakmuran bagi semua?
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konteks bangsa kepulauan yang plural secara etnis, agama, dan bahasa, fondasi ini adalah jangkar yang menstabilkan. Namun di sisi lain, dinamika politik kita seringkali diwarnai oleh semangat komunalitas dan polarisasi identitas yang mereduksi esensi demokrasi.
Jika politik gagal menjadi jalan menuju cita-cita kemerdekaan—yakni melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum—maka legitimasi demokrasi akan tergerus. Ketimpangan sosial-ekonomi yang dibiarkan, kolusi antara politisi dan pengusaha, serta praktik politik transaksional berpotensi menjelma menjadi bara disintegrasi.
Lima Agenda Strategis Demokrasi Bermutu
Guna membangun kualitas demokrasi yang tahan uji, inklusif, dan berorientasi masa depan, setidaknya ada lima agenda strategis yang perlu dikedepankan:
1. Menjadikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagai Jalan Bersama
Pembangunan demokrasi mesti terintegrasi dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Demokrasi bukan semata sistem politik, tetapi sistem nilai dan tata kelola yang menjawab tantangan ekologis, sosial, dan ekonomi secara simultan. Menurut Amartya Sen, demokrasi sejati memberi ruang bagi manusia untuk expanding freedoms—kebebasan memilih hidup yang bernilai.
2. Transformasi Digital Pemerintahan yang Efektif dan Inklusif
Digitalisasi bukan sekadar adopsi teknologi, tapi soal mengubah cara negara bekerja: lebih transparan, responsif, dan partisipatif. Estonia, misalnya, telah menunjukkan bahwa e-government bisa meningkatkan kepercayaan publik dan efisiensi negara. Di Indonesia, platform digital mesti dimanfaatkan untuk menjelaskan visi kebangsaan, prioritas pembangunan, dan pentingnya pengorbanan bersama.
3. Keterbukaan dan Partisipasi Publik yang Berkualitas
Partisipasi warga negara bukan sekadar mencoblos saat pemilu, tapi terlibat dalam siklus kebijakan publik secara utuh. Teori Deliberative Democracy yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang sehat—di mana warga bisa berdiskusi secara rasional dan inklusif. Maka transparansi informasi, akuntabilitas kebijakan, dan ruang dialog harus diperluas.
4. Literasi Politik dan Digital untuk SDGs
Literasi bukan hanya soal membaca-tulis, tetapi membentuk warga negara yang sadar sejarah bangsanya, paham hak dan kewajibannya, serta mampu berkontribusi produktif di sektor pilihannya. Tanpa literasi politik dan digital yang memadai, masyarakat mudah terjebak dalam politik uang dan disinformasi. Ini juga akan memperburuk biaya politik yang mahal, dan pada gilirannya menghambat lahirnya pemimpin yang meritokratik.
5. Kepemimpinan Berbasis Kesadaran Ekosistem
Transformasi bangsa memerlukan ecosystem leadership, yakni kepemimpinan yang memahami keterhubungan antar sektor, generasi, dan wilayah. Ini menuntut holistic leadership yang mengakar pada semangat gotong royong dan integritas. Pelatihan dan rekrutmen pemimpin, baik di politik maupun birokrasi, harus digerakkan oleh orientasi ini.
Demokrasi Butuh Perhatian Substansial
Selama 27 tahun terakhir, demokrasi Indonesia telah melalui banyak ujian dan tetap bertahan. Namun tantangan ke depan bukan sekadar mempertahankan prosedur demokratis, melainkan meningkatkan kualitas partisipasi, kualitas hasil kepemimpinan, serta kualitas tata kelola yang berpihak pada rakyat.
Seperti diingatkan Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom, demokrasi yang hanya prosedural tanpa substansi akan terjebak dalam illiberal democracy—penuh kebebasan formal, tetapi minim keadilan dan kepercayaan. Bila kualitas demokrasi terus menurun, maknanya akan menguap dari kehidupan rakyat.
Sudah waktunya kita menata ulang orientasi demokrasi Indonesia: dari demokrasi elektoral menuju demokrasi regeneratif—demokrasi yang melahirkan pemimpin yang memulihkan, memperkuat, dan memberdayakan bangsanya. (H-3)