
KETUA Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) masih berpotensi memberikan ruang jebakan bagi masyarakat. Hal itu disampaikannya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI.
Menurut Isnur, ruang penjebakan itu tercantum dalam Pasal 5 RKUHAP yang memberikan kewenangan bagi penyelidik melakukan tindakan lain menurut hukum. Kendati demikian, beleid itu tidak menjelaskan lebih jauh soal tindakan lain dimaksud.
"Tindakan lain ini menurut kami bisa sangat luas tafsirnya, jadi ini berbahaya," katanya, Senin (21/7).
Pasal Jebakan?
Untuk diketahui, beleid tersebut sebenarnya ada dalam KUHAP saat ini. Namun, draf RKUHAP versi 17 Februari 2025 pernah menghapus pasal tersebut. Oleh karena itu, Isnur mempersoalkan mengapa pasal jebakan tersebut kini muncul lagi.
Selain Pasal 5, Isnur juga menyoroti jebakan lainnya yang termaktub dalam Pasal 16 RKUHAP. Beleid tersebut mencantumkan pembelian terselubung atau undercover buy dan penyerahan di bawah pengawasan sebagai metode penyelidikan.
Tindak Pidana?
Pihaknya menyoalkan metode tersebut karena penyelidikan harusnya merupakan tahapan untuk mencari ada tidaknya tindak pidana. Jika kewenangan itu diberikan saat penyelidikan, penyelidik justru dapat menciptakan tindak pidana itu sendiri.
"Jadi, fenomena menanam bukti yang dilarang dalam Pasal 278 di Undang-Undang KUHP, ini bisa. Jadi menurut kami, pencegahan yang dilakukan di KUHP jangan sampai kemudian diberikan kewenangannya di KUHAP," terangnya.
Pengaturan Jelas?
Menurut Isnur, pembentuk undang-undang masih perlu memberikan pengaturan yang jelas tentang persyaratan dan prosedur metode investigasi tersebut, termasuk adanya izin dari pengadilan sebagai bentuk jaminan check and balace dalam proses penegakan hukum.
"Investigasi khusus ini baru dapat dilakukan pada tahap penyidikan, ketika sudah ada kejelasan bahwa tindak pidana memang telah terjadi," jelas Isnur. (Tri/P-3)