
EKONOM senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai negosiasi langsung (bilateral) antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat sebagai solusi realistis untuk mengatasi tarif impor tinggi sebesar 32% terhadap produk Indonesia. Ia meragukan efektivitas Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Hal itu karena AS sering mengambil kebijakan sepihak yang tidak sejalan dengan aturan WTO, sehingga lembaga tersebut dianggap tidak berdaya di mata AS.
"WTO tidak lagi punya taring berhadapan dengan situasi ini. Sekarang masing-masing negara langsung bernegosiasi dengan AS. Pemerintah kita mesti segera bernegosiasi dengan AS," kata Tauhid dalam diskusi Indef Waspada Genderang Perang Dunia secara daring, Jumat (4/4).
Negosiasi untuk mendapatkan win-win solution amat dibutuhkan Indonesia lantaran adanya ketimpangan posisi perdagangan dengan Negara Paman Sam. Tauhid mengungkapkan pangsa pasar AS bagi Indonesia mencapai 9–10%. Namun sebaliknya, kontribusi Indonesia terhadap perdagangan AS hanya sekitar 0,9%.
"Jadi dalam situasi ini memang kita jauh lebih membutuhkan Amerika," ucapnya.
Mengenai pengenaan tarif impor tinggi AS, sejumlah negara telah memberikan respons cepat. Vietnam yang dikenai tarif 46%, kata Tauhid, telah merespons dengan berencana mengirim delegasi mereka ke AS akhir pekan ini. Sementara, Thailand merespons dengan menyatakan akan menyesuaikan struktur tarif dengan mencari solusi yang adil melalui negosiasi.
"Itu statement dari Menteri Keuangan Thailand (Pichai Chunhavajira). Walaupun dia menyesalkan, tapi dia mencoba menyesuaikan struktur tarif dan mencari solusi yang adil. Malaysia juga akan melakukan dialog dan negosiasi," jelas Tauhid.
Dalam kesempatan sama, Ekonom Senior Indef Fadhil Hasan berpandangan pemerintah Indonesia perlu memahami karakter Presiden AS Donald Trump yang dikatakan tidak menyukai pendekatan multilateral. Jika ada upaya yang bersifat koordinatif yang dilakukan oleh negara-negara yang terdampak atas kebijakan tarif, Trump cenderung menolak.
"Trump maunya dealnya itu dengan bilateral. Misalnya, dengan Uni Eropa secara langsung, atau dengan negara lain seperti Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Trump ingin melakukan kesepakatan secara satu per satu," jelasnya.
Lebih lanjut, Fadhil menilai dengan mengajukan usulan negosiasi bersama ASEAN, dianggap tidak efektif. Hal ini karena adanya perbedaan kepentingan di antara negara-negara ASEAN.
"Soal tarif impor baru ini, saya kira memang kita harus melakukannya secara bilateral dengan Amerika," pungkasnya. (H-4)