
PENGAMAT ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menegaskan pentingnya penghentian total kegiatan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Dia menilai proses penambangan apapun bentuknya, pasti merusak lingkungan.
Untuk penambangan di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, meski dilakukan reklamasi sekalipun, dampaknya tetap akan merusak keutuhan alam geopark yang merupakan bagian dari ekosistem destinasi wisata unggulan tersebut.
"Menurut saya, semua penambangan di Raja Ampat dan sekitarnya harus dihentikan untuk selamanya. Jangan ada lagi izin penambangan,” ujar Fahmy kepada Media Indonesia, Minggu (8/6).
Lebih lanjut, Fahmy mengungkapkan kecurigaan aktivitas penambangan yang masih berlangsung di Raja Ampat bukan semata karena kelalaian, melainkan juga diduga kuat merupakan hasil dari praktik kongkalikong antara oknum pemerintah pusat dan pengusaha tambang.
Kongkalikong semacam ini dituding terjadi sebelum pemerintahan Prabowo Subianto.
“Saya menduga ada konspirasi antara oknum pemerintah dengan pihak perusahaan tambang yang memungkinkan penambangan tetap berjalan di Raja Ampat," ucapnya.
Dugaan tersebut pun harus diusut tuntas Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan Agung. Jika terbukti, semua pihak yang terlibat harus diproses secara hukum.
Terkait adanya perbedaan sikap antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang merencanakan pemberian sanksi, sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan tidak ada masalah dalam aktivitas tambang tersebut, Fahmy menilai hal itu menambah kebingungan publik.
Idealnya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian hadir untuk menyatukan arah kebijakan serta menyelaraskan sikap antar kementerian agar tidak menimbulkan kebingungan publik
“Perbedaan kepentingan antara dua kementerian ini jelas membingungkan. Seharusnya Kemenko Bidang Perekonomian bisa menyelaraskan sikap pemerintah," pungkasnya. (E-4)