Sikap Intoleran di Kalangan Mahasiswa Ancaman bagi Keberagaman

3 hours ago 3
Sikap Intoleran di Kalangan Mahasiswa Ancaman bagi Keberagaman Ilustrasi(Dok UNU Yogyakarta)

DALAM penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2021, sebanyak 30,16 persen mahasiswa Indonesia ternyata tidak toleran. Fenomena ini dapat menjadi ancaman serius bagi keberagaman Indonesia, di mana anak muda yang seharusnya menjadi pembawa damai justru merusak perdamaian.

Direktur Center for Center for Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) UNU Yogyakarta Wiwin Rohmawati berpendapat, membangun perjumpaan langsung antarmahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan suku menjadi hal yang krusial.

"Kita melihat realitas banyaknya kasus intoleransi, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta ancaman radikalisme di kalangan anak muda di Indonesia," terang dia dalam workshop dan pelatihan kepada mahasiswa sebagai bagian dari program “Peningkatan Kapasitas Mahasiswa Lintas Iman untuk Dialog Antaragama dan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) di Indonesia" yang digelar di Kampus UNU Yogyakarta, Sabtu (10/5).

Ia juga menyampaikan, meskipun Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, masih banyak mahasiswa dari berbagai agama dan etnis yang belum terlibat dalam dialog antaragama. 

"Kasus intoleransi beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah masih tinggi dalam 5 tahun terakhir," terang dia.

Pada 2023, Setara Institute  mencatat total ada 217 peristiwa dengan 329  tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia. Dari jumlah itu, Jawa Tengah dan DIY menempati posisi lima besar dengan 14 peristiwa intoleransi.

Wiwin juga mengungkapkan, korban kasus intoleransi terbanyak adalah penganut Ahmadiyah, agama lokal/penghayat, Kristen, dan Syiah. Sementara itu, tempat ibadah yang paling banyak diserang adalah gereja, masjid penganut Syiah dan Ahmadiyah, wihara, kelenteng, dan sinagog. 

Workshop di UNU Jogja digelar pada 10-11 Mei yang diikuti oleh 35 mahasiswa lintas iman dari 7 perguruan tinggi, termasuk 4 orang mahasiswa penyandang disabilitas. Lokakarya ini diadakan sebanyak tiga kali dengan dua kali tindak lanjut secara personal dan kelompok, diikuti tahapan monitoring dan evaluasi.

"Melalui program ini, kami berupaya untuk menyinergikan kerangka GEDSI dalam upaya dialog antaragama," terang dia. Melalui pendekatan interseksionalitas antara dialog antaragama dan GEDSI, program ini diharapkan mampu membangun masyarakat terutama kaum muda yang setara, adil, dan inklusif.

Direktur PuSAIK Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Suhadi Cholil, menambahkan, dialog antaragama merupakan sarana yang sangat penting bagi mahasiswa untuk meningkatkan daya kritis, membangun hubungan antaragama yang baik dan bermakna, serta menginisiasi kerja sama untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial di masyarakat. 

"Banyak inisiatif dialog antaragama telah dilakukan, namun demikian, belum ada inisiatif yang melibatkan mahasiswa dari 7 kampus sekaligus dengan latar belakang agama yang berbeda, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Begitu pula, belum ada yang berupaya mengembangkan dialog antaragama sekaligus memperkuat perspektif dan praktik GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion)," lanjut Suhadi.

Padahal, lanjutnya, dialog antaragama tidak dapat berdiri sendiri. Ia memiliki persinggungan yang sangat kuat dan saling terkait dengan berbagai isu di masyarakat, salah satunya dengan isu GEDSI. 

"Oleh karena itu, penting untuk memulai suatu inisiatif bersama yang menyediakan ruang bagi mahasiswa dari berbagai agama untuk bertemu dan berdialog sekaligus memperkuat perspektif GEDSI mereka," tutur Suhadi.

UNU Yogyakarta bersama 6 kampus, yaitu Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra, Kopeng, dan Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Jawa Dwipa, Klaten. 

Program ini juga didukung oleh The International Dialogue Centre KAICIID--King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue, sebuah konsorsium sejumlah negara untuk dialog lintas agama.

Rangkaian program yang mengusung tagline "Beragam, Dialogis, Inklusif" ini diawali dengan seminar sehari “Integrasi Perspektif dan Praktik Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) dalam Dialog Antaragama" di Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jumat (9/5). 

"Seminar ini menghadirkan sejumlah pakar di bidang dialog antaragama dan GEDSI dan dihadiri ratusan peserta," tutup Suhadi. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |