
HARI Raya Idulfitri menjadi momen istimewa untuk berkumpul dan mempererat hubungan dengan keluarga besar dan kerabat. Akan tetapi, tak jarang keluarga dan kerabat menanyakan seputar kehidupan individu, seperti kapan nikah, karier di pekerjaan, dan rencana masa depan.
Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Atika Dian Ariana mengungkapkan fenomena tersebut berkaitan dengan budaya kolektivistik yang mengakar di masyarakat Indonesia. Pada budaya itu, terdapat pandangan bahwa kepentingan individu merupakan bagian dari kepentingan bersama.
“Sebenarnya, dalam konteks positif mereka ini peduli, memberikan perhatian satu sama lain. Mereka ingin mengetahui bahwa orang yang sedang berinteraksi dengannya dalam kondisi baik-baik saja, bahkan mungkin ada improvement dari Lebaran tahun lalu," kata Atika, seperti dilansir dari situs Unair, Kamis (27/3).
Akan tetapi, dalam konteks negatif, lanjut Atika, hal tersebut justru dianggap kepo -rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain- dan melanggar batas privasi. Sehingga hal tersebut yang kemudian menjadi persoalan.
Dampak
Beberapa pertanyaan seputar kehidupan pribadi yang kerap ditanyakan keluarga, kerabat, dan tetangga tersebut bisa memberikan dampak buruk bagi seseorang. Berikut beberapa dampak buruknya.
- Kecewa
Atika menjelaskan ketika muncul pertanyaan-pertanyaan yang di luar ekspektasi, hal itu yang membuat seseorang merasa kecewa.
"Apalagi ketika apa yang ditanyakan itu sebenarnya merupakan pertanyaan yang sudah membebani kita,” katanya.
- Traumatis
Selain itu, akan timbul rasa traumatis saat seseorang mendapat pertanyaan yang sebelumnya sudah membebaninya. “Bisa saja seseorang itu sedang berjuang dengan skripsinya atau karena satu dan lain hal memutuskan untuk mengundurkan diri dari perkuliahan," ungkap Atika.
"Jadi kondisinya dia sedang tidak mengikuti kegiatan akademik apapun dalam konteks yang tidak menyenangkan. Ketika itu seseorang tanyakan akan membangkitkan rasa tidak nyaman dan sedih,” lanjutnya.
Cara Merespons
Untuk menyikapi emosi yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada dua cara yang bisa dilakukan, sebagai berikut.
- Cara Fight (Melawan Rasa Itu) atau Flight (Melarikan Diri)
Atika menyebut seseorang bisa memilih menggunakan cara fight (melawan rasa itu) atau cara flight (melarikan diri).
“Melarikan diri ini tidak bisa selalu kita lakukan, semisal dalam reuni keluarga, di mana semua keluarga hadir, maka mau tidak mau kita harus fight. Salah satu cara fight-nya, yaitu menyiapkan jawaban," ungkap Atika.
"Namun, tentu ini perlu kita pertimbangkan apakah jawaban kita akan membuat lawan bicara tidak bertanya lebih lanjut atau justru bertanya semakin personal. Jadi yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan diri sedini mungkin sebelum kita mengikuti event sosial dan mengelola ekspektasi kita,” lanjutnya.
- Teknik Grounding
Selain itu, seseorang bisa melakukan teknik grounding apabila efek dari pertanyaan itu menimbulkan rasa tidak nyaman. Teknik grounding berupaya mengalihkan perasaan cemas melalui aktivitas panca indra, seperti olah mengatur pernapasan, jalan-jalan, dan tidur.
Atika menyampaikan setiap orang tidak memiliki kontrol atas hadirnya pertanyaan personal saat silaturahmi keluarga, tetapi memiliki kontrol dalam memberi jawaban.
"Tidak semua pertanyaan harus kita jawab, kita perlu melihat siapa yang bertanya," saran Atika.
Atika mengatakan kita bisa menjawab dengan senyum atau dengan kata ‘oke’. "Yang maksudnya menjawab dengan jawaban yang sifatnya permukaan juga untuk orang yang tidak terlalu kita kenal,” tutur Atika. (Nas/M-3)