
Zaenur menekankan penting bagi DPR untuk dapat membedakan sistem perampasan aset IN REM yang ditujukan pada aset dan perampasan aset pidana yang ditujukan pada pelaku tindak pidana.
“Dalam sistem perampasan aset model IN REM, yang diuji bukan negara vs pemilik aset, tetapi negara vs aset karena tindakan hukum ini ditujukan pada aset, bukan pada individu yang memiliki atau menguasainya,” ujarnya kepada Media Indonesia, hari ini.
Di samping itu, perampasan IN REM merupakan tindakan hukum yang ditujukan langsung pada aset yang terkait dengan tindak pidana, tanpa perlu menghukum pemiliknya. Dikatakan aset yang dirampas dapat berupa uang, properti, atau barang berharga lainnya yang diperoleh dalam tindak pidana
“Jadi negara dapat merampas aset tanpa harus membuktikan kesalahan atau menuntut individu yang terlibat dalam tindak pidana. Perampasan IN REM bertujuan untuk menentukan status aset, bukan untuk membuktikan kesalahan dalam suatu tindak pidana,” jelasnya.
Hal itu kata Zaenur, jelas berbeda dengan perampasan aset pidana yang ditujukan pada pelaku tindak pidana sebagai bagian dari hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Aset yang dirampas dalam perampasan pidana biasanya hasil dari alat tindak pidana, dan hukuman tersebut juga ditujukan pada pemiliknya
“Jadi itu yang dikonfiskasi, disetujui, yang disasar itu adalah asetnya. Bukan tindak pidana atau kejahatannya. Jadi bukan berarti kalau RUU perampasan aset ini disahkan, negara akan demikian mudahnya bisa merampas aset, harta yang dituduh hasil kejahatan,” tuturnya.
Atas dasar itu, pengadilan akan memberikan kesempatan kepada pihak yang menguasai atau memiliki aset untuk membuktikan sumber atau asal-usul aset tersebut.
“Harus melalui pembuktian di pengadilan hanya saja bukan pembuktian pidana, tapi pembuktian hybrid. Tidak harus dibuktikan tindak pidananya,” katanya.
Lebih jauh, Zaenur menilai bahwa dorongan para akademisi dan masyarakat sipil kepada DPR agar segera membahas substansi RUU Perampasan Aset sudah dilakukan sejak 17 tahun lalu.
“Ini tidak juga buru-buru, RUU perampasan aset itu mulai dari tahun 2008, 2010, 2012, 2016, 2023, dan 2025, sudah belasan tahun. Siapa yang bilang buru-buru? Tidak ada yang buru-buru. RUU-nya sudah lama sekali tapi selalu ditolak oleh DPR untuk dibahas,” tegasnya.
Zaenur menduga, salah satu faktor utama yang membuat DPR setiap tahun selalu berkelit dan menolak membahas serta terkesan ogah-ogahan menyetujui RUU Perampasan Aset, dipicu karena adanya aset mereka yang dimiliki tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“DPR menolak membahas karena DPR ketakutan. Mereka takut aset mereka dirampas. Itu menunjukkan mereka paranoid, makanya jangan suka korupsi agar tidak (mau) paranoid,” pungkasnya. (Dev/P-1)