Safenet: Revisi UU TNI Berdampak pada Militerisasi Ruang Siber, Hak Digital Publik akan Terancam

1 month ago 17
 Revisi UU TNI Berdampak pada Militerisasi Ruang Siber, Hak Digital Publik akan Terancam Direktur Eksekutif Safenet Nenden Sekar Arum.(Dok. MI)

SOUTHEAST Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyayangkan proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (revisi UU TNI) yang dinilai tidak transparan dan tidak partisipatif.

Direktur Eksekutif Safenet Nenden Sekar Arum mengatakan salah satu poin pembahasan revisi UU TNI mengenai perluasan kewenangan TNI di ruang digital sebagai bentuk militerisasi ruang siber akan mengancam hak-hak digital masyarakat sipil.

“Kami menilai bahwa narasi ini sangat berbahaya bagi penghormatan terhadap hak-hak digital masyarakat Indonesia. Perluasan kewenangan perluasan operasi militer selain perang (OMSP) untuk mengatasi dimensi virtual dan kognitif dari perang siber dapat diinterpretasikan secara luas dan sangat rentan disalahgunakan,” kata Nenden dalam keterangan yang diterima Media Indonesia pada Rabu (19/3).

Nenden menjelaskan perluasan OMSP pada ranah digital sangat kental dengan nuansa militerisasi ruang siber (militarization of cyberspace). Dikatakan bahwa militerisasi ruang siber merupakan upaya negara dalam mengonstruksi domain siber sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional.

“Sehingga dapat digunakan untuk melegitimasi penerapan langkah-langkah berorientasi militer dalam menangani ancaman siber serta membenarkan pengembangan dan peningkatan berkelanjutan kapabilitas militer siber tanpa henti,” tuturnya.

Menurut Nenden, jika dimensi virtual dan kognitif dari ancaman siber dipandang sebagai ancaman eksistensial, negara dapat menjadikannya justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).

“Kami juga menilai bahwa pemerintah mereduksi ancaman siber semata-mata sebagai ancaman terhadap negara dan militer, alih-alih melihatnya sebagai permasalahan yang lebih luas dan kompleks,” tukasnya.

Safenet menilai, narasi ancaman ‘Perang Siber’ dengan negara lain dapat dijadikan kambing hitam untuk membungkam wacana-wacana kritis dan meningkatkan kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital.

Kontrol tersebut dikatakan, bisa dilakukan dengan cara pengawasan massal yang merupakan pelanggaran hak atas privasi, penyensoran konten/situs web yang merupakan pelanggaran hak atas informasi, dan pengetatan regulasi terkait ekspresi daring yang merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi.


Percepat aturan teknis UU PDP

Alih-alih mengesahkan revis UU TNI, Safenet justru mendorong DPR dan pemerintah untuk segera mempercepat pembahasan peraturan turunan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang lebih penting untuk keamanan digital. Menurutnya, peraturan-peraturan ini dapat memberikan dampak nyata dan manfaat langsung bagi warga negara, ketimbang memperluas kewenangan militer.

“Hemat kami, pengaturan tentang tanggung jawab korporasi digital yang kerap memfasilitasi manipulasi opini publik, serta percepatan pembahasan peraturan turunan UU PDP agar segera berlaku efektif, justru jauh lebih penting dan mendesak untuk dibahas pemerintah bersama DPR RI,” ungkap Nenden.

Selain perluasan OMSP, ketentuan membuka kesempatan kepada prajurit aktif militer untuk menduduki jabatan-jabatan sipil juga akan membuka ancaman baru bagi penghormatan hak-hak digital warga.

“Ketentuan baru ini memungkinkan militer untuk menduduki posisi-posisi strategis di lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur ruang siber, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia. Hal ini dapat berimplikasi pada lahirnya kebijakan-kebijakan militeristik terkait ruang siber, yang acap kali berlawanan dengan nilai-nilai HAM,” jelas Nenden.

Selain itu, Safenet memandang bahwa pembahasan revisi UU TNI yang tertutup dan minim partisipasi ini merupakan salah satu gejala dari menyempitnya ruang kebebasan sipil di kabinet saat ini dan abainya DPR terhadap partisipasi masyarakat sipil.

“Apabila hal ini terus berlanjut, maka RUU TNI akan menambah daftar legislasi yang mengancam kebebasan sipil di Indonesia,” imbuh Nenden.

Atas dasar itu, Safenet mendesak perbaikan tata kelola pembentukan legislasi secara menyeluruh agar DPR RI dapat menghadirkan legislasi yang berbasis pada data dan ilmu pengetahuan, dibuat dengan proses transparan, dan sesuai dengan aspirasi dari masyarakat.

“Kami mendesak pemerintah bersama DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan tidak partisipatif, dan menghapus ketentuan-ketentuan yang melegitimasi militerisasi ruang siber, termasuk ketentuan perluasan OMSP yang membuka peluang bagi militer untuk menangani ancaman siber di dimensi virtual dan kognitif, serta pasal yang mengizinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam keterangan pers DPR pada 15 Maret 2025, Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), TB Hasanuddin, mengonfirmasi bahwa salah satu poin yang telah disepakati adalah perluasan operasi militer selain perang (OMSP) dengan mencakup pertahanan siber.

Berdasarkan dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) versi pemerintah terakhir yang kami peroleh, salah satu usulan dari pemerintah adalah memperluas wilayah OMSP, termasuk untuk mendukung pemerintah dalam menghadapi ancaman siber.

Dalam draft tersebut, pemerintah menjelaskan bahwa perang Siber tidak hanya menyerang infrastruktur secara fisik, namun juga dimensi virtual dan kognitif. Musuh/Lawan melakukan manipulasi sosial, polusi informasi, memperkuat narasi dengan ekspresi berlebihan untuk menyerang kerawanan kognitif.

“Konflik yang mengeksploitasi keunggulan informasi ini menjadi suatu senjata yang sangat berbahaya dengan cara memengaruhi keyakinan, sikap, dan perilaku masyarakat yang mengakibatkan konflik sosial, politik, dan ekonomi yang pada akhirnya mengancam keamanan negara,” bunyi dokumen tersebut. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |