Regulasi Perlindungan Anak di Ranah Digital, Libatkan Anak dalam Perumusan

2 weeks ago 13
Regulasi Perlindungan Anak di Ranah Digital, Libatkan Anak dalam Perumusan Ilustrasi(freepik.com)

PERKEMBANGAN digital membuka akses luas bagi anak dan remaja untuk belajar, menambah wawasan dan mengembangkan keterampilan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencetak Generasi Emas 2045. 

Tantangannya adalah menyeimbangkan perlindungan dan akses agar teknologi dimanfaatkan secara bijak tanpa menghambat pertumbuhan mereka. Saat ini pemerintah tengah merancang regulasi untuk melindungi anak-anak dari berbagai risiko di
dunia digital. Namun, muncul perdebatan tentang sejauh mana pembatasan ini diperlukan agar tidak menghambat hak anak untuk mendapatkan informasi dan mengembangkan literasi digital.

Sejumlah pakar dan lembaga terkait menekankan bahwa regulasi yang berdampak kepada akses daring anak dan remaja harus seimbang dan bahkan harus melibatkan suara anak dalam perumusannya.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, menegaskan bahwa regulasi digital harus mampu melindungi anak dalam aktivitas mereka di dunia digital. “Anak punya hak untuk mendapatkan perlindungan dari konten negatif di ranah digital, tapi di sisi lain, mereka juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang positif untuk mendukung tumbuh kembang mereka,” kata Kawiyan.

Sementara itu, Kepala Divisi Akses Internet SAFEnet, Unggul Sagena, menyatakan bahwa aturan yang dibuat harus jelas dan berlaku untuk semua pihak yang terlibat, termasuk semua Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). “Selain aturan yang membatasi umur berbeda-beda,
kita juga harus jelas dalam mendefinisikan usia anak dan bukan anak. Di beberapa regulasi di Indonesia saja ada perbedaan definisi soal ini,” ujarnya.

Aspirasi Anak Harus Didengar

Baik Kawiyan maupun Unggul sepakat bahwa anak-anak harus dilibatkan dalam penyusunan regulasi digital, bukan sekadar menjadi objek kebijakan tanpa ruang partisipasi. Menurut Kawiyan, regulasi ini sedang dibahas oleh berbagai pihak, termasuk Kementerian Komunikasi
dan Digital, KPAI, serta beberapa kementerian dan lembaga lainnya. 

Namun, ia menekankan bahwa anak-anak juga harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat mereka. “Anak-anak juga harus didengar aspirasinya,” ujarnya.

Sementara Unggul lebih kritis terhadap transparansi dalam pembuatan regulasi ini. Ia mempertanyakan sejauh mana keterlibatan anak dan orang tua dalam proses perumusannya. “Ya, harus dilibatkan orang tua dan anak itu, tapi tidak dalam konteks tokenisme, di mana anak
dan wali hanya diminta hadir mendengarkan paparan dan dianggap selesai, lalu regulasi dilanjutkan,” tegasnya.

Ia mencontohkan bahwa organisasi seperti Indonesia Child Online Protection (ID-COP) bisa dilibatkan dalam melakukan survei kepada anak-anak dan orang tua, lalu hasilnya dijadikan masukan bagi pembuat kebijakan. “Tapi pertanyaannya, memang (poin-poin) yang ada pada
draft regulasi saat ini seperti apa? Apakah orang tua dan anak tahu? Atau bahkan rekan-rekan pegiat hak anak tahu? Di mana RPP-nya supaya masyarakat bisa menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan memberikan masukan?,” ucap Unggul yang mempertanyakan
transparansi pemerintah dalam menyusun regulasi.

Batas Usia Minimum

Salah satu aspek krusial dalam rancangan regulasi adalah batas usia minimum. Pada usia berapa seorang anak seharusnya boleh mengakses dunia digital, mengingat ada beragam PSE dengan karakteristik masing-masing. Apakah peraturan batas usia minimum dapat diterapkan
secara seragam ke semuanya? “Saat ini masih terjadi perdebatan tentang batas minimum usia anak,” ujar Kawiyan. 

Yang tidak kalah penting, tambahnya, adalah pendampingan dari orang
tua di dalam keluarga. "Harus dengan verifikasi serta pengawasan, bimbingan, dan edukasi dari orang tua," tuturnya.

Sejauh ini belum ada konsensus global yang mengatur batas minimum usia tersebut. Sejumlah negara menetapkan batas minimum beragam. Amerika Serikat menerapkan batas usia minimum 13 tahun, sesuai dengan Children's Online Privacy Protection atau Undang-Undang
Perlindungan Privasi Online Anak-anak. Sementara itu, Inggris Raya juga menerapkan batasan usia 13 tahun sesuai dengan Age-Appropriate Design Code (Children's Code).

Terkait verifikasi usia dan efektivitas pelaksanaannya, Unggul menyoroti bahwa regulasi yang tengah digodok di Indonesia ini harus mempertimbangkan aspek teknis lainnya. “Teknologi apa yang digunakan? Apakah ada risiko pelanggaran hak anak? Proses ini tidak bisa terburu-buru. Harus mempertimbangkan faktor teknologi yang digunakan,” ucap Unggul.

Perlindungan Anak di Ranah Digital.

Maka dari itu, menurut Unggul, jika regulasi ini benar-benar akan melibatkan anak dan masyarakat secara luas, prosesnya harus transparan dan terbuka untuk kritik serta saran dari berbagai pihak.

“Pelibatan multistakeholder, termasuk masyarakat sipil, memang akan lama, tapi kita kan tidak mau buru-buru tapi nanti banyak masalah kemudian? Apalagi kalau mengaku sebagai negara demokrasi, maka transparansi, akuntabilitas, dan melibatkan banyak pihak terutama yang
terdampak menjadi penting,” tambahnya.

Pemerintah diharapkan dapat menyusun regulasi dengan cermat, transparan, dan inklusif, agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar efektif dalam melindungi anak tanpa menghambat perkembangan mereka di dunia digital. Meskipun rencana pemerintah terkait pembatasan usia
minimum bagi anak dalam menggunakan platform digital bertujuan untuk melindungi mereka, kebijakan ini juga berpotensi membatasi hak anak untuk mengakses informasi. 

Sesuai dengan Pasal 17 Konvensi PBB tentang Hak Anak, setiap anak berhak memperoleh informasi dari berbagai sumber, termasuk media digital, yang dapat mendukung perkembangan mereka. 

"Urusan anak adalah urusan masa depan bangsa, tidak bisa instan. Sebagaimana kita mengolok anak-anak sekarang maunya instan, tapi kita malah memberikan contoh proses [penyusunan kebijakan] yang instan,” ucap Unggul. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |