
DEWAN Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem menyelenggarakan acara bedah buku Ki Hadjar: Sebuah Memoar dalam rangka merayakan Hari Pendidikan Nasional. Acara tersebut menghadirkan sejumlah narasumber yang berkecimpung di bidang pendidikan dan penulis buku Ki Hadjar: Sebuah Memoar serta cucu dari Ki Hadjar Dewantara yang juga berkecimpung di dunia pendidikan.
Buku Ki Hadjar: Sebuah Memoar yang diterbitkan pada 2017 membahas sosok Ki Hadjar Dewantara dengan tulisan yang ringan dan mudah dipahami. Buku yang berjumlah 54 halaman tersebut mengenalkan sosok bapak pendidikan nasional kepada pembaca. Antarina SF Amir, Pendiri dan Chief Executive Officer (CEO) Redea Institute (HighScope Indonesia) yang juga merupakan cucu dari Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa buku tersebut sangat menarik untuk dibaca.
”Saya pikir memang semua harus membaca (buku ini) untuk mengerti perjalanan Eyang (KI Hadjar Dewantara) yang diajarkan. Karena saya baca dari awalnya, dari sejak dia masih kecil, dari pemikirannya, memang seperti kita bicara dengan beliau dan menceritakan kehidupannya, kemudian perkembangannya, apa yang dilakukan. Jadi banyak hal yang menurut saya memang harus diketahui,” ungkap Rina, demikian sapaannya, saat ditemui Media Indonesia usai acara bedah buku Ki Hadjar: Sebuah Memoar yang digelar di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Kamis (15/5).
”(Buku) Ini bahasanya lebih ringan, jadi mudah dimengerti dan saya sih rekomendasi untuk memang dibaca oleh banyak orang. Dan saya terpikir juga untuk ini dilakukan discussion,” sambungnya.
Sesuai dengan ajaran pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, lanjut Rina, pendidikan harus mengangkat bangsa atau membentuk bangsa menjadi bangsa yang memiliki peradaban tinggi. ”Nah, kalau yang ada permasalahan dengan anak-anak, kalau dilihat ya, kalau usia tertentu itu memang otaknya under construction luar biasa. Itu usia dari 10 sampai 20 tahun. Itu under construction, jadi artinya perkembangan emosinya lebih cepat dari perkembangan pikirannya sehingga mereka sering melakukan kesalahan,” ujarnya.
”Dan apakah itu kesalahan mereka? Kita harus melihat juga kepada diri kita, apakah sistem pembelajaran kita sudah memang membantu untuk mengarahkan mereka memiliki etika, nilai-nilai yang benar? Makanya dari Ki Hajar sudah bilang, penekanan terlalu banyak terhadap intelektualisme tapi tidak di dalam nilai-nilai rasa atau disebut budi pekerti yang (berkaitan) untuk pengambilan keputusan,” sambungnya.
Literasi bukan sekadar decoding
Rina juga menyampaikan acara bedah buku tersebut sangat menarik. Hal yang perlu ditekankan di dalam literasi bukan sekedar decoding, artinya bukan sekedar mengeja tapi mengerti apa isinya dan bisa melihat berbagai macam perspektif.
Selain itu, Haidar Musyafa yang menulis buku Ki Hadjar: Sebuah Memoar menuturkan bahwa motivasinya untuk menulis buku tersebut agar anak-anak bisa mencintai buku tersebut. ”Karena semakin ke sini merasakan bahwa nasionalisme, rasa cinta pada buku ini semakin menurun. Di sisi lain dunia pendidikan juga semakin mengalami kemunduran. Kita menyiapkan pendidikan ini tujuannya untuk mencerdaskan anak bangsa, mencerdaskan mereka dan mereka itu bisa menerus dan memegang estafet kepemimpinan bangsa ini. Artinya regulasi atau pengambil kebijakan ke negeri ini harus benar-benar menyiapkan pendidikan yang terbaik bagi generasi muda kita,” ungkapnya, saat hadir di acara bedah buku melalui platform konferensi video.
”Tetapi kenyataannya memang tidak seperti itu. Bukan karena Indonesia itu kekurangan orang pandai, orang cerdas. Tidak. Orang-orang Indonesia itu pikirannya praktis, pikirannya fokus. Siapa bilang Indonesia mengalami kemunduran dalam literasi? Tidak. Literasi Indonesia itu terbaik, cuma berpindah dari yang sebelumnya itu literasinya bersahabat dengan buku. Sekarang literasinya itu pindah dengan gadget. Nah itu harus disikapi dengan sebuah peraturan dan juga sistem pendidikan,” sambungnya.
Pendidikan adalah sistem yang tidak boleh terputus
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menyampaikan bahwa saat ini sistem pendidikan Tanah Air seperti melupakan bahwa pendidikan adalah sebuah sistem yang tidak boleh terputus, merupakan sebuah kelanjutan dimana semua yang ada di dalamnya, baik murid, guru maupun semua yang terlibat harus menjadi pembelajar.
”Itu yang rasanya terlupakan, mudah-mudahan diskusi hari ini dengan para pembicara yang tadi sudah memberikan insight bisa menjadi pengingat bagi kita bersama bahwa perjuangan kita panjang sekali dan kita tidak boleh lelah (untuk) terus menyuarakan,” ungkapnya, yang turut hadir di acara bedah buku melalui platform Zoom.
”Marilah kita bersama-sama kembali untuk mengedepankan atau menyampaikan intisari ajaran Ki Hajar Dewantoro untuk diterapkan kepada sistem pendidikan nasional kedepan agar kita bisa menciptakan anak-anak yang nanti paripurna dan siap menerima tongkat estafet dari kita menuju Indonesia Emas di tahun 2045,” sambung politisi partai NasDem tersebut. (Nas/M-3)