
ANGGOTA Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel, mencoba mobil berbahan bakar hidrogen.
“Masa depan kendaraan bermotor akan mengarah ke tiga jenis, yaitu dengan daya listrik, mobil hibrid, dan berbahan bakar hidrogen. Mestinya, pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada ketiganya untuk mendorong percepatan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil. Dan hal itu juga untuk semua industri, termasuk produk elektronika,” kata Gobel, Selasa (6/5).
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam acara New Energy Vehicle Summit 2025 di kawasan SCBD.
Usai memberikan ceramah, Gobel menaiki mobil berbahan bakar hidrogen yang dipamerkan dalam acara tersebut. Mobil hidrogen tersebut diproduksi oleh Toyota. Ada dua jenis, yaitu Crown dan Mirai.
Saat ini dunia sedang menuju peralihan dari energi berbahan fosil ke energi hijau yang lebih ramah terhadap lingkungan. Sebetulnya, Jepang sudah lebih dulu melakukan riset dan uji coba kendaraan listrik, namun kemudian beralih ke kendaraan hibrid dan hidrogen.
Salah satu alasan mereka meninggalkan kendaraan listrik karena energi listrik tersebut juga berasal dari energi tak ramah lingkungan, yaitu batubara.
Untuk mendukung peralihan ke energi ramah lingkungan ini, pemerintah memberikan insentif khusus, namun insentif hanya diberikan ke kendaraan listrik.
Saat ini, kendaraan listrik sudah lebih dikenal masyarakat karena hadir di pasar lebih dulu, namun ke depan, sesuai hasil riset, masyarakat akan beralih ke kendaraan hibrid dan akhirnya ke hidrogen.
Gobel mengatakan, Indonesia harus cermat dalam membaca tren energi kendaraan ke depan.
“Jangan sampai uang kita dibelanjakan untuk hal-hal yang tak berkesinambungan. Karena selain membelanjakan uang untuk hal yang tak berumur panjang, juga karena membuat infrastruktur energi yang tak berkelanjutan juga,” katanya.
Pada kesempatan itu, Gobel juga menerangkan tentang makna transfer teknologi dan dampaknya.
“Transfer teknologi itu harus direbut, tidak ada orang yang akan memberikan teknologinya secara cuma-cuma,” katanya.
Selain itu, katanya, transfer teknologi juga ada tahapannya. Mulai dari transfer of job dan transfer of skill, lalu transfer of knowhow, dan akhirnya transfer of intellectual property.
Pada tahap pertama adalah peralihan pekerjaan dan keterampilan dalam mengerjakan sesuatu secara teknis, kemudian penguasaan dan pemahaman tentang konsep dalam membuat barang, dan akhirnya yang menyangkut aspek riset dan penemuan.
“Nah, aspek ketiga ini yang membutuhkan kecanggihan berpikir dan ketekunan meriset,” katanya.
Dalam konteks transfer teknologi tersebut, kata Gobel, kebijakan tentang TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) memiliki posisi strategis.
Dengan adanya kewajiban TKDN, katanya, maka investor akan membangun industri di dalam negeri. Sehingga uang masuk, lapangan kerja tercipta, bahan baku diproses di dalam negeri, dan yang paling penting sumberdaya manusia Indonesia mengalami akselerasi kemajuan.
“Transfer teknologi kan ujungnya pada kualitas sumber daya manusia. Taiwan dan China juga memulai industrinya dengan cara yang sama,” katanya.
Gobel meminta semua pihak untuk tidak meremehkan soal TKDN.
“Ini bukan sekadar relokasi dan pengalihan pekerjaan serta kemampuan membuat komponen suatu produk sederhana, tapi ada sesuatu yang sangat strategis,” katanya.
Sebagai contoh, ia mengemukakan, di Jepang ada perusahaan komponen untuk membuat per keong mobil. Kini, perusahaan komponen per tersebut mampu membuat per spiral yang materinya lebih tipis dari sehelai rambut. Per spiral tersebut untuk kebutuhan alat kesehatan. Ia juga mengemukakan contoh lain lagi, yaitu ada perusahaan komponen pembuat selang pembuangan air untuk mesin cuci. Kini, perusahaan kecil tersebut sudah mampu membuat selang untuk komponen pesawat ruang angkasa dan juga untuk roket.
“Jadi jangan menyepelekan TKDN dan industri komponen. Kuncinya adalah pada pemberian insentif dari pemerintah pada perusahaan yang mengembangkan research and development (R&D). Jadi transfer teknologi terjadi dengan sendirinya,” katanya.
Gobel mengatakan, membangun pabrik dan membangun industri itu berbeda.
“Memang sama-sama ada mesin, ada bangunan, dan ada pekerja. Namun yang membedakan industri dan pabrik adalah ekosistem. Di dalam industri itu ada yang dinamakan piramida industri. Mulai dari industri utamanya itu sendiri hingga industri penopangnya seperti industri komponen dari tier-1 hingga tier-5, outlet resmi, outlet tidak resmi, bahkan hingga ke lembaga pendidikan dan industri keuangan. Semua terjalin dalam suatu ekosistem yang saling terkait. Mulai dari perusahaan besar hingga perusahaan UMKM. Itulah makna menjadi negara industri,” katanya.
Menurut Gobel, Indonesia sangat beruntung memiliki jumlah penduduk yang besar dan sumberdaya alam yang kaya.
“Siapapun akan tertarik untuk investasi di Indonesia karena pasarnya sangat besar. Jadi yang pertama adalah jaga dan lindungi pasar dalam negeri ini sebagai modal dasar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang maju. Bukan dengan membiarkan diri kita menjadi negara importir apa saja,” katanya. (RO/Z-1)