Pukat UGM: KPK tidak Perlu Ikuti Aturan Penyadapan di RUU KUHAP

3 weeks ago 14
 KPK tidak Perlu Ikuti Aturan Penyadapan di RUU KUHAP Gedung DPR.(MI/Bary)

DRAF revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengatur soal penyadapan, termasuk harus adanya izin ketua pengadilan negeri hingga batas waktu penyimpanan hasil penyadapan.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman, menanggapi wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengikuti aturan penyadapan seperti yang ada di revisi Undang-Undang KUHAP.

Zaenur menilai wacana tersebut tidak tepat sebab pendapatnya mengacu pada asas hukum Lex posterior derogat legi priori di mana peraturan yang baru dapat menyampingkan atau meniadakan peraturan yang lama tersebut. Menurutnya, asas itu tidak bisa digunakan dalam memandang konteks penyadapan KPK terhadap RUU KUHAP.

“Pendapat Sharoni ini didasarkan pada pemahaman yang kurang tepat, bahwa asas tersebut seharusnya diberlakukan untuk menyelesaikan konflik norma dalam dua aturan undang-undang yang setara tetapi saling bertentangan, bagaimana cara untuk menyelesaikan konflik ya maka peraturan yang baru menghapus atau mengalahkan peraturan yang lama,” jelasnya kepada Media Indonesia pada Kamis (27/3).

Zaenur menekankan bahwa jika nantinya KUHAP sudah disahkan, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU lain tidak akan otomatis terhapus karena aturan umum yang baru tidak selalu menghapus aturan yang lama terlebih lagi jika disandingkan dengan UU KPK yang bersifat khusus.

“Jadi kalau nanti KUHAP sudah direvisi dan disahkan, aturan prosedur penyadapan KPK yang masih tetap berlaku adalah ketentuan penyadapan di dalam undang-undang KPK karena asas kekhususan nilai spesialis, bukan mengacu pada KUHAP,” tegasnya.

Hal itu kata Zaenur, merujuk pada asas lex specialis derogat legi generalis yang artinya aturan hukum yang lebih khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum.

“Sedangkan KUHAP adalah satu undang-undang yang bersifat umum di dalamnya mengatur bagaimana prosedur-prosedur penegakan hukum pidana itu dijalankan, tetapi di luar KUHAP ada prosedur prosedur yang bersifat khusus dan tersebar di banyak peraturan salah satunya di dalam undang-undang KPK,” katanya.

Atas dasar itu, KPK tidak perlu mengikuti aturan penyadapan dalam RUU KUHAP tersebut. Sehingga, saat KPK akan menyita dan menggeledah, termasuk menyadap, tidak perlu meminta izin ketua pengadilan negeri.

“Jika nantinya sistem penyadapam akan diubah dengan KPK harus izin kepada ketua pengadilan negeri, ini tentu akan menyusahkan penyadapan dan berdampak terhadap upaya pemberkasan korupsi. Apalagi kalau yang digunakan bukan undang-undang KPK, itu bahaya karena situasi saat ini korupsi begitu merebak dan terjadi di mana-mana termasuk di lingkungan badan peradilan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Zaenur mengatakan KPK mempunyai kewenangan lex specialis, yang berarti bisa mengabaikan aturan yang lebih umum karena ada aturan lebih khusus. Dalam penyadapan, KPK hanya perlu meminta izin kepada pimpinan agar proses penyadapan berjalan efektif.

“Kalau harus izin kepada Ketua Pengadilan Negeri, tentu akan membuat birokrasi menjadi semakin panjang untuk melakukan penyadapan, prosedur menjadi semakin rumit dan kemungkinan bocornya juga semakin tinggi serta memungkinkan juga mafia peradilan akan menghambat upaya pemberantasan korupsi,” tukasnya.

Zaenur setuju jika penyadapan khususnya untuk penegak hukum lain harus diatur agar tidak liar seperti dalam RUU KUHAP. Namun, karena KPK telah memiliki UU KPK, aturan di KUHAP bisa dikesampingkan.

“Pernyataan Sahroni bahwa penyadapan KPK harus ikut pada RUU KUHAP dari sisi penggunaan asas hukum itu tidak tepat, dan dari sisi substansi juga akan menghambat upaya pemberantasan korupsi karena KUHAP itu mengatur ketentuan hukum umum sedangkan UU KPK mengatur ketentuan khusus,” imbuhnya.

Sebelumnya, dalam draf RUU KUHAP terdapat aturan penyadapan tercantum pada Pasal 124 hingga 128. Dalam Pasal 124, tertulis bahwa penyadapan harus atas seizin ketua pengadilan negeri. Penyadapan tanpa izin ketua pengadilan negeri baru dapat dilakukan jika dalam keadaan mendesak. Berikut ini bunyinya:

(1) Penyidik, PPNS, dan/atau Penyidik Tertentu dapat melakukan Penyadapan untuk kepentingan penyidikan.

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin ketua pengadilan negeri.

(3) Dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilaksanakan tanpa izin ketua pengadilan negeri. Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. Potensi terjadi bahaya maut atau ancaman luka berat;
b. Telah terjadi permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau
c. Telah terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi

(5) Pelaksanaan penyadapan yang dilakukan dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib segera dimohonkan persetujuan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1 (satu) Hari terhitung sejak penyadapan tanpa izin dilaksanakan.

(6) Dalam hal ketua pengadilan negeri menolak untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penyadapan yang sedang dilakukan wajib dihentikan serta hasil penyadapan tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti dan dimusnahkan. (Dev/I-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |