
JAKARTA selalu bergerak. Dari atas flyover Kuningan hingga ke lorong sempit di Tambora, denyut ibu kota tak pernah padam.
Gedung-gedung menjulang seperti simbol kekuasaan, jalanan padat penuh kendaraan seperti nadi ekonomi yang terus berdetak.
Tapi di balik gemerlap kota, ada lorong-lorong gelap tempat mimpi sering terperangkap.
Di antara rumah berdinding triplek dan jalan berlubang, seorang perempuan memungut sampah plastik—bukan karena terpaksa, tapi karena percaya bahwa sesuatu yang dianggap tak berguna bisa diubah menjadi harapan.
Dialah Erida Wahyuningsih, penggerak UMKM daur ulang yang membuktikan bahwa kreativitas bukan milik kaum mapan, melainkan milik siapa saja yang berani memulai dari nol.
“Dulu kami buang plastik-plastik ini begitu saja,” katanya sembari menunjukkan tas cantik dari kemasan kopi instan, di Smesco Jakarta. “Sekarang justru ini jadi sumber hidup kami.”
Erida tinggal di kawasan pemukiman padat di Jakarta. Sehari-hari ia adalah ibu rumah tangga biasa.
Tapi dibalik rutinitas yang tampak sederhana, ia menyimpan tekad besar: memperbaiki lingkungan dan mengangkat ekonomi warga sekitar lewat karya kreatif berbahan daur ulang.
Berawal dari keresahan akan tumpukan sampah plastik di lingkungannya, Erida mulai merintis usaha kerajinan berbasis limbah.
Bersama sejumlah ibu rumah tangga lain, ia belajar mengolah sampah kemasan menjadi produk bernilai: tas, dompet, topi, bahkan aksesori.
Komunitas ini bukan hanya menghasilkan barang, tapi juga menenun kembali rasa percaya diri, terutama bagi perempuan yang dulu merasa tak punya daya.
Usahanya sempat dianggap remeh. Tapi Erida dan komunitasnya terus melangkah.
Dengan semangat kolaborasi dan keuletan khas akar rumput, mereka menjadikan kreativitas sebagai bentuk perlawanan terhadap keterbatasan.
Ekosistem Kreatif di Pinggiran Kota
Di kota yang sibuk mengejar pertumbuhan, inisiatif seperti yang dibangun Erida ibarat mata air kecil di tengah padang beton.
Komunitasnya tak sekadar tempat produksi, melainkan ruang aman untuk belajar, saling menguatkan, dan berbagi. Di ruang-ruang sempit itulah, industri kreatif rakyat mulai bertunas.
Namun, mereka tumbuh di antara tantangan: minimnya dukungan fasilitas, pemasaran, hingga kebijakan yang inklusif. Dalam konteks inilah, langkah pemerintah menjadi sangat berarti.
Selain Erida, Di sebuah jalan kecil di bilangan Kembangan, Jakarta Barat, Bryan, seorang barista yang memulai bisnisnya di teras garasi rumahnya.
Namun dari garasi rumah yang disulap sederhana itu, aroma kopi segar menyambut siapa saja yang lewat. Tempat itu bernama Rona Roastery.
Dari luar, Rona Roastery mungkin tampak seperti rumah biasa. Tapi begitu melangkah ke dalam, atmosfernya langsung berubah.
Rona Roastery mengusung konsep slow bar — sebuah pendekatan yang mengajak pengunjung untuk benar-benar hadir dan menikmati kopi secara utuh, bukan sekadar meneguk kafein dalam lalu-lalang kehidupan yang terburu-buru.
Di sini, barista tidak hanya menyeduh kopi, mereka juga bercerita. Setiap cangkir yang tersaji punya kisah: tentang asal biji kopi, tentang teknik pour-over yang presisi, bahkan tentang kegembiraan bereksperimen dengan kopi mocktail — kreasi minuman kopi berpadu buah, rempah, dan es batu yang menyegarkan.
“Inilah tempat di mana kopi tak hanya diminum, tapi dinikmati baik rasanya, aromanya, maupun perjalanannya,” kata dia.
Belum lama ini, di Balairung Balai Kota Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung bersama Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya menandatangani nota kesepakatan strategis: memperkuat sektor ekonomi kreatif Jakarta.
Kolaborasi ini tak hanya bertujuan menjadikan Jakarta kota global, tetapi juga mengoptimalkan peran industri kreatif sebagai penopang utama perekonomian nasional.
“Kerja sama ini termasuk dalam ‘timeline executive action’ program 100 hari Gubernur dan Wagub,” kata Pramono.
Ia menegaskan pentingnya pengembangan ekosistem kreatif untuk mendukung kewirausahaan, peningkatan lapangan kerja, serta optimalisasi koridor kreatif di berbagai wilayah Jakarta.
Dosen di Universitas Prasetya Mulya sekaligus praktisi di bidang penyelenggaraan acara, Salsabila Ramadita, menerangkan bahwa dalam kerangka ekonomi kreatif, ruang publik berperan sebagai tempat terjadinya interaksi langsung antara pelaku usaha dan konsumen.
“Inti dari pemanfaatan ruang publik adalah untuk meningkatkan eksposur produk-produk kreatif, meraih pasar baru, serta menggerakkan dinamika komunitas melalui kegiatan ekonomi yang saling menghidupkan,” ujar Salsabila.
Lebih lanjut, Salsabila menyampaikan bahwa Jakarta sejatinya telah mulai mengoptimalisasi fungsi ruang publik. Contohnya adalah penyelenggaraan festival UMKM yang menjadi salah satu medium untuk memperkuat ekosistem ekonomi kreatif.
Dengan menghadirkan ruang publik sebagai medium interaksi, pelaku usaha dapat menampilkan produk-produk lokal serta kesenian dan budaya kepada khalayak luas, sekaligus membuka ruang dialog antara penjual dan pembeli.
“Di negara-negara luar seperti di kawasan Eropa, justru penyelenggaraan event di ruang terbuka telah menjadi bagian dari strategi kota untuk memperoleh manfaat ekonomi yang lebih luas,” tambahnya.
Inovasi dan Dampak Sosial
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa ekonomi kreatif menyumbang hampir 11% terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta.
Angka ini bukan sekadar statistik, tapi cerminan potensi yang telah lama hidup di lorong-lorong kota.
Erida dan komunitasnya serta Bryan adalah wajah dari angka itu, mereka yang bekerja di luar sorotan media, tapi menggerakkan ekonomi mikro yang berdampak makro.
Dukungan dari pihak swasta dan berbagai lembaga mulai mengalir.
Namun dampak sesungguhnya adalah ketika anak-anak sekitar mulai mengenal pentingnya daur ulang, ketika ibu-ibu merasa berdaya karena bisa mandiri secara ekonomi, dan ketika masyarakat mulai melihat sampah bukan sebagai masalah, tapi sebagai peluang.
“Sampah itu tidak salah, yang salah kalau kita membiarkannya tanpa makna,” ujar Erida.
Jakarta tidak hanya dibangun oleh kontraktor dan perencana kota. Ia juga dibentuk oleh tangan-tangan sederhana yang mengenyam harapan dari barang-barang buangan.
Di gang sempit yang tak masuk peta wisata, kreativitas tumbuh liar dan tak bisa dihentikan.
Nota kesepakatan antara Pemprov DKI dan Kementerian Ekraf adalah langkah besar.
Tapi agar benar-benar bermakna, inisiatif ini harus berpijak pada realitas lapangan—pada mereka yang setiap hari mengubah limbah menjadi berkah.
Sebab Jakarta tak akan pernah benar-benar jadi kota global jika ia tak melihat dan mendukung para pelaku kreatif dari akar rumput.
Erida dan Bryan tidak menembus beton dengan palu. Mereka menembusnya dengan benang, jarum, aroma kopi, dan harapan.
Dari pinggiran kota inilah, masa depan Jakarta sedang dijahit—pelan, sabar, tapi pasti. (Z-10)