
PENYELENGGARAAN pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua kerap kali menuai banyak persoalan yang dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari konflik horizontal, faktor keamanan karena serangan separatis, hingga pengaruh cuaca yang menyebabkan proses demokrasi mengalami hambatan.
Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan perhelatan pilkada di Papua harus memiliki mekanisme khusus yang berbeda dari wilayah lainnya.
Dikatakan bahwa Papua masih menjadi provinsi rawan yang harus diberikan stimulus serius dan mendasar atas aturan hukum, manajemen, penegakan hukum dalam penyelenggaraan pilkada.
“Pilkada yang melibatkan kekerasan amat jauh dari prinsip dasar demokrasi, sehingga para pembentuk undang-undangan perlu mengevaluasi serius untuk menemukan formula terbaik untuk Papua,” katanya kepada Media Indonesia, hari ini.
Menurut Titi, diperlukan desain desentralisasi asimetris khusus yang diberikan pada Papua karena masalah yang ada di wilayah tersebut juga bersifat khusus. Atas dasar itu, penanganannya tak cukup dengan proteksi tetapi lebih dari itu adalah adanya akselerasi.
“Misalnya bagaimana menerapkan pilkada asimetris yang di tengah masih digunakannya konsep pemilihan ala noken oleh kelompok suku di Papua,” jelas Titi.
Titi menilai, kompleksitas pilkada di Papua diperlukan desain khusus berupa reinstrumentasi yang lebih adaptif terhadap konteks lokal dan perlu pula pengawalan agar kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut memiliki ketegasan dalam pelaksanaannya
“Tentu saja proses perumusan kebijakan tersebut harus dilakukan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada di Papua. Jangan sampai keputusan diambil hanya berdasar kehendak para elite Jakarta semara,” ungkapnya.
Selain itu, persoalan terbesar yang harus diselesaikan adalah bagaimana menghentikan praktik kekerasan yang sering terjadi pasca pilkada akibat maraknya provokasi terhadap massa pendukung oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Penegakan hukum harus jadi prioritas agar kekerasan tidak terus berulang dan kian eksesif merugikan masyarakat,” tandasnya.
Diketahui, pertikaian terkait Pilkada Puncak Jaya yang berlangsung sejak November 2024 hingga April 2025 itu telah menelan 12 korban jiwa. Korban tewas karena terkena panah serta terkena tembakan senjata api.
Pihak kepolisian menduga ada tembakan senjata api dari kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang memanfaatkan situasi politik memanas di Puncak Jaya. Namun, dalam berbagai keterangan, TPNPB-OPM membantah terlibat dalam konflik pilkada di Papua, termasuk di Puncak Jaya.
Saat ini, aparat keamanan terus berupaya mendamaikan dua kubu yang bentrok. Salah satu kubu telah menyatakan sikap damai dan siap untuk mengakhiri bentrok berkepanjangan.
Pernyataan sikap tersebut dilakukan pada Minggu (6/4/2025) sekitar pukul 19.30 WIT. Dalam pernyataan sikap yang diwakili oleh Tibenius Telenggu (kepala suku) dan Emas Wonorengga (kepala suku perang), mereka menyatakan siap berdamai.
Kodim 1714/Puncak Jaya menegaskan bahwa pendekatan ke kubu lainnya terus dilakukan. Hingga Selasa sore aparat melaporkan sudah tidak ada gerakan-gerakan dari kubu yang bertikai. Kesepakatan damai diharapkan segera tercapai dalam waktu dekat ini. (Dev/P-1)