
DIREKTUR Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mengatakan jelang peringatan 27 tahun reformasi, kebebasan sipil dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) semakin mundur.
“Tujuan reformasi itu semakin jauh, memang reformasi itu selalu menjadi gagasan ideal yang bersifat kontinjen dan selalu bisa diperjuangkan sebagai idealisme, tetapi juga bisa diserang dalam kepentingan pragmatisme,” ujarnya kepada Media Indonesia pada acara peringatan 27 tahun reformasi di Universitas Atmajaya Jakarta, beberapa hari lalu.
Salah satu indikatornya menurut Usman, terlihat dari desain kepemiluan yang hanya memuat praktik legalisme otokratik, pemanfaatan dana publik untuk kepentingan elektoral hingga pengerahan aparat birokrasi.
“Itu sebabnya beberapa indeks demokrasi dunia melihat Indonesia mengalami kemunduran indeks demokrasi. Indonesia sekarang masuk dalam golongan elektoral autokrasi, istilahnya ada kompetisi pemilu tapi sistemnya sudah otoriter, jadi silahkan mencalonkan diri tapi harus bersaing dengan karakter sistem yang otoriter. Itu hampir tidak mungkin membuka kembali ruang demokrasi,” jelas Usman.
Selain itu, Usman menilai bahwa penegakan hukum pelanggaran HAM memperlihatkan penguatan praktik impunitas. Menurutnya, adanya kekakuan pemerintah dalam menerjemahkan ideologi politik menjadi salah satu kendala budaya impunitas sulit dihilangkan.
"Kekakuan ideologis ini juga muncul di dalam peristiwa 1965, kerusuhan 1998, sampai kasus Papua yang dianggap tabu untuk dibuka dan dibicarakan. Jadi kekakuan berpikir secara ideologis seperti itu, dan terutama ada di dalam pemimpin negara yang menjadi kendala dan menjadi akar kenapa impunity itu ada,” ujarnya.
Selain itu, budaya impunitas dalam kasus-kasus reformasi 1998 juga disebabkan karena lemahnya penegakan hukum yang mengacu pada fakta bahwa pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan lainnya, termasuk KKN, seringkali tidak mendapatkan hukuman atau tanggung jawab atas perbuatan mereka.
Apa Kabar Kasus Pelanggaran HAM Berat?
Hal ini kata Usman, menjadi masalah yang signifikan karena menyebabkan pelanggaran HAM terus berulang dan menghambat proses pengungkapan kasus serta pencarian keadilan.
“Kasus-kasus penyelidikan pelanggaran HAM mengalami kematian. Berkas penyelidikan peristiwa kerusuhan Mei yang begitu banyak orang menjadi korban baik itu kekerasan rasial, perposaan perempuan maupun juga pembakaran pusat-pusat berbelanja, tidak juga mau diusut oleh Jaksa Agung,” jelasnya.
Padahal menurut Usman, Jaksa Agung yang disebut sebagai dominus lupus atau pengendali perkara, memiliki kekuatan dalam mengusut dan menegakkan keadilan untuk perkara-perkara yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat.
“Pengusutan itu ditentukan oleh Jaksa Agung, apakah rule of law itu di tangannya menjadi kuat atau menjadi lemah. Seluruh berkas perkara pelanggaran berat di masa reformasi ini bisa naik ke pengadilan kalau Jaksa Agungnya independen,” tukasnya. (H-4)