Pengamat Sebut PSU di 24 Daerah Timbulkan Sejumlah Konsekuensi

1 week ago 12
Pengamat Sebut PSU di 24 Daerah Timbulkan Sejumlah Konsekuensi Majelis hakim konstitusi yang diketuai Suhartoyo (tengah) memimpin sidang pengucapan putusan sengketa Pilkada 2024(MI/Usman Iskandar)

PENELITI Bidang Politik dan Pemerintahan Intelligence and National Security Studies (INSS) Ahmad Rijal menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 di 24 daerah akan menimbulkan sejumlah konsekuensi.

Rijal menjelaskan PSU memang harus dilakukan mengingat putusan MK yang final dan mengikat serta untuk menjaga prinsip keadilan pemilu. Namun, kata ia, di sisi lain, PSU juga membawa banyak konsekuensi. 

Konsekuensi pertama ialah tujuan pilkada serentak agar tiap kepala daerah memiliki masa jabatan yang sama menjadi tidak tercapai. Kedua, target efisiensi anggaran dengan menyatukan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada juga menjadi meleset. 

"Terlebih saat ini Pemerintahan Prabowo-Gibran sedang gencar melakukan efisiensi anggaran dalam rangka penghematan. Dari sisi pemerintah daerah, ini juga menjadi beban tambahan karena harus ikut menanggung pembiayaan Pilkada yang bersumber dari APBD," kata Rijal, melalui keterangannya, Minggu (2/3).

Konsekuensi berikutnya ialah KPUD dan pasangan calon nantinya harus bekerja keras untuk meningkatkan tingkat partisipasi pemilih dengan mengajak kembali masyarakat agar mau memilih. Hal ini menjadi tantangan karena ada indikasi kelelahan atau kejenuhan pemilih (voter fatigue) akibat pelaksanaan pilkada yang berlangsung di tahun yang sama dengan pemilu nasional. 

"Dalam banyak daerah, tingkat partisipasi cenderung menurun dibandingkan edisi pilkada sebelumnya. Adanya PSU dikhawatirkan akan semakin menggerus angka partisipasi pemilih, sehingga siapapun yang menang akan mengalami penurunan legitimasi," katanya.

Lebih lanjut, Rijal menyayangkan penyelenggara pemilu di beberapa daerah yang harus melakukan PSU akibat inkompetensi  tidak dapat dikenai hukuman pidana, kecuali jika terbukti menerima suap dari calon atau partai politik untuk mengakali peraturan. Ia menilai meski tidak terbukti menerima suap, PSU jelas merugikan keuangan negara. 

"Dana yang digunakan untuk PSU seharusnya dapat dialokasikan untuk memaksimalkan pelayanan dasar bagi warga negara, yang selama ini masih banyak mengalami keterbatasan di berbagai daerah," katanya. 

Maka dari itu, Rijal berharap DKPP dapat bertindak tegas untuk memastikan bahwa pilkada berjalan sesuai dengan prinsip kejujuran dan keadilan. Ia menilai perlu sanksi tegas untuk memberikan efek jera sehingga menjadi contoh bagi penyelenggara lainnya agar tidak main-main.

"Hanya dengan demikian, kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dapat tetap terjaga. Semoga ke depan, sinergi antara MK, Komisi II DPR RI, DKPP, KPU, dan Bawaslu semakin kuat demi mewujudkan pemilu dan pilkada yang lebih berkualitas," katanya.

Selain itu, untuk mencegah kecurangan pemilu, ke depan perlu dibentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap praktik politik uang. Kepolisian, bekerja sama dengan KPU dan para pemangku kepentingan lainnya, harus memastikan bahwa fenomena politik uang tidak lagi menjadi hal yang biasa dalam setiap kontestasi politik. 

"INSS mengapresiasi keberanian MK dalam mengungkap adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) serta keputusannya yang memerintahkan PSU sebagai bentuk penegakan keadilan pemilu," pungkasnya. (Faj/M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |