Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Dinilai Masih Setengah Hati

1 week ago 12
Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Dinilai Masih Setengah Hati Ilustrasi kekerasan seksual(Dok: 123RF)

KASUS pelecehan seksual yang dilakukan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad) kembali membuka borok penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Meski Unpad telah menjatuhkan sanksi penghentian permanen program residen terhadap pelaku, langkah itu dinilai belum menyentuh aspek keadilan yang lebih dalam.

“Masalahnya ada dua. Pertama, ada aturan di tingkat kementerian yang seolah memberi kampus kewenangan seperti penyidik untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual secara internal,” ujar aktivis perempuan Eva K. Sundari saat dihubungi, Rabu (9/4).

“Ini tidak mendatangkan keadilan bagi korban. Kampus seolah jadi hakim sendiri, padahal bukan wewenangnya," imbuh dia. 

Menurutnya, kampus sering kali hanya memberi sanksi administratif, tanpa memastikan pelaku benar-benar bertanggung jawab secara hukum. “Biasanya pelaku dikeluarkan, paling keras, lalu kerja lagi di kampus lain. Lalu keadilan bagi korban gimana, dong?” ujarnya. 

Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara kampus dan aparat penegak hukum untuk memastikan proses hukum berjalan terbuka dan adil. Kampus, lanjut Eva, seharusnya kerja bareng dengan polres setempat. Apalagi di kampus seperti Unpad dan UGM yang memiliki Fakultas Hukum, sehingga bisa dimanfaatkan untuk memberikan bantuan hukum bagi korban.

Selain itu, ia menyebut dukungan psikologis sangat krusial. “Unpad dan UGM punya Fakultas Psikologi. Itu bisa banget dimanfaatkan buat konseling korban. Tapi sering kali yang diurus hanya prosedur, bukan pemulihan," jelasnya. 

Ia menyayangkan lemahnya komitmen pimpinan kampus dalam membentuk sistem penanganan yang berpihak pada korban. Padahal kampus memiliki potensi sumber daya untuk menangani kasus kekerasan seksual. Terpenting komitmen pimpinan untuk membentuk task force yang operasional.

"Adanya task force yang difasilitasi kampus akan membangkitkan keberanian korban untuk melapor,” tegasnya.

Namun, jika penanganan dilakukan separuh hati, korban justru makin ciut nyali sementara pelaku semakin pongah. Perkara ini bukan hanya soal sanksi, tetapi menciptakan kultur kampus yang aman dan berkeadilan. 

Untuk pencegahan, Eva menilai perlu adanya prinsip zero tolerance terhadap kekerasan seksual ke statuta university. Kemudian, kampus juga harus membuat instrumen penegakannya, seperti di kurikulum, ekstrakulikuler hingga materi ospek.

"Bikin task force yang komprehensif dan tegakkan prinsip pro korban. Jadi kelihatan serius dan enggak berani main-main," pungkas dia.(M-2) 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |