
TIM Hukum Hanyar (Haram Manyarah) Banjarbaru ajukan pembatalan hasil Pemilihan Suara Ulang (PSU) Pilkada Banjarbaru, Kalimantan Selatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonannya, Tim Hukum Hanyar meminta MK untuk mendiskualifikasi pasangan calon (Paslon) nomor urut 1 Erna Lisa Halabi-Wartono dari pencalonan Pilkada Kota Banjarbaru.
Selain itu, juga memohon agar MK menetapkan kolom kosong sebagai pihak yang memperoleh suara terbanyak. Sebagai tindak lanjut, Tim Hukum Hanyar meminta KPU untuk menyelenggarakan Pilkada ulang pada bulan Agustus 2025.
Pengajuan pembatalan ini mewakili Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia Kalimantan Selatan (LPRI Kalsel) selaku Pemantau dan Prof Udiansyah selaku Pemilih. Mereka telah mengajukan permohonan pembatalan atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 69 Tahun 2025 tanggal 21 April 2025.
Tim Hukum Hanyar, Denny Indrayana dalam keterangan tertulisnya diterima Kamis (24/4) mengatakan ada pelanggaran asas Pemilu, khususnya asas “adil” dan asas “bebas” dikarenakan tidak adanya keadilan bagi para pemilih.
“Serta tidak adanya kebebasan para pemilih untuk memberikan pilihan lain selain kepada Pasangan Calon Nomor Urut 1 sehingga haruslah dibatalkan,” kata Denny.
Di sisi lain PSU yang diselenggarakan untuk memperbaiki pelanggaran justru kembali diwarnai praktik politik uang. Ada dugaan politik uang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) untuk memenangkan paslon nomor 1 Lisa Halaby-Wartono, melawan kolom kosong. Praktik ini tentu mencederai asas Pemilu yang jujur dan adil serta merugikan masyarakat Banjarbaru.
Adapun hasil PSU Pilkada Banjarbaru Paslon Nomor 1 memperoleh 56.043 suara dan Kolom Kosong 51.415 suara. Total suara sah 107.458 suara dan suara tidak sah mencapai 3.358 suara.
Tim Hukum Hanyar menilai bahwa PSU Banjarbaru merupakan contoh nyata dari kerusakan demokrasi elektoral. Prinsip “free and fair election” dikalahkan oleh kekuatan uang dan praktik kecurangan sistemik. Permohonan ini akan memaparkan bagaimana kekuatan politik uang dijadikan strategi utama pemenangan.
“Sehingga demokrasi tidak lagi mencerminkan kedaulatan rakyat, melainkan berubah menjadi “DUITokrasi” (kedaulatan uang). (H-2)