
INDUSTRI baja nasional tengah menghadapi tantangan krusial. Di satu sisi, pelaku industri terus melakukan berbagai upaya transformasi, mulai dari efisiensi energi, digitalisasi proses produksi, hingga adopsi teknologi rendah emisi.
Pada sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan tekanan serius antara lain seperti membanjirnya baja impor, penurunan permintaan akibat efisiensi belanja pemerintah, serta lemahnya pengawasan dan implementasi regulasi penggunaan produk dalam negeri (P3DN).
Isu-isu itu jadi sorotan utama pada Iron and Steel Summit & Exhibition Indonesia (ISSEI) 2025 yang diselenggarakan Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) di JICC, Jakarta.
Tantangan bersama
Dengan tema Bersama Industri Baja Nasional Membangun Fondasi Menuju Indonesia Emas, ISSEI 2025 menjadi forum penting bagi pelaku industri baja untuk menyuarakan tantangan bersama, memperkuat sinergi, dan mendorong keberpihakan kebijakan menuju pembangunan industri baja yang berkelanjutan dan berdaya saing global.
Dalam forum diskusi itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian yang juga mantan Menteri Perindustrian periode 2014-2016 Saleh Husin, menyampaikan urgensi terhadap pemerintah terkait kondisi ini.
"Saat ini industri baja nasional seperti tergopoh-gopoh terutama menghadapi serbuan membanjirnya baja impor di dalam negeri. Apalagi ditambah permintaan baja dalam negeri yang menurun akibat kebijakan efisiensi anggaran yang kini dijalankan pemerintah," kata Saleh.
Ia menambahkan penertiban pasar sangat diperlukan agar tidak beredar baja yang tidak standar atau dikenal sebagai besi banci yang beredar di black market.
”Saya pun berharap ada pengaturan agar baja yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri tidak lagi diimpor sehingga daya saing industri baja nasional dapat makin meningkat," imbuh Saleh.
Terkait penggunaan produk dalam negeri (P3DN), Saleh mengatakan, meski regulasinya sudah ada, implementasi di lapangan masih lemah. Untuk itu, agar baja nasional jadi tuan rumah di negeri sendiri dan tumbuh, perlu penegasan pada rapat kabinet terbatas dari Presiden Prabowo. ”Ini dilakukan agar belanja APBN, APBD, serta BUMN wajib menggunakan baja produksi dalam negeri," tuturnya.
Pentingnya Ketegasan Regulasi
Pandangan itu diperkuat pelaku industri. Presiden Direktur PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP) Fedaus menekankan pentingnya ketegasan regulasi dan perlindungan pasar dalam negeri.
“Kami bertransformasi mulai dari meningkatkan efisiensi operasional, memperluas digitalisasi, dan mengadopsi praktik ramah lingkungan. Namun, bila baja impor terus masuk tanpa kontrol memadai, dan produk-produk non-standar tidak dilengkapi SNI dan TKDN yang sesuai regulasi masih bebas beredar di pasar, ini persaingan tidak adil,” ujarnya.
Ia menambahkan pelaku industri tidak menolak perdagangan terbuka, tapi yang dibutuhkan ialah keadilan dan keberpihakan. Menurut dia, industri baja ialah tulang punggung pembangunan nasional, dan tanpa dukungan nyata, cita-cita Indonesia menjadi negara industri maju sulit tercapai.
“Kita tak bisa bicara hilirisasi dan industrialisasi 2045 jika fondasi industrinya, yakni baja, tidak berdiri kuat di negeri sendiri. Inilah saatnya keberpihakan diwujudkan, bukan sekadar diwacanakan,” ucapnya.
Data Kemenperin menunjukkan kapasitas produksi baja nasional saat ini sekitar 17 juta ton per tahun, sementara kebutuhan domestik pada 2025 diprediksi mencapai 21 juta ton. Masih ada kesenjangan yang harus ditutup dengan impor. Jika tidak dikelola secara strategis, proyeksi kebutuhan baja Indonesia yang mencapai 100 juta ton per tahun pada 2045 akan memperlebar ketergantungan pada baja luar negeri.
Dengan forum seperti ISSEI 2025, pelaku industri baja berharap ada komitmen bersama membangun industri baja yang kuat, mandiri, dan berkontribusi pada pada agenda besar Indonesia menuju negara maju. (Ant/E-2)