
PERAN perempuan dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia terus menjadi sorotan dalam forum-forum internasional. Sejumlah tokoh perempuan Indonesia mendorong implementasi konkret dari resolusi internasional terkait Women, Peace, and Security (WPS), terutama dalam konteks diplomasi pertahanan dan pengambilan keputusan politik.
Pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKASP) DPR Irine Yusiana mengkritik masih minimnya pengakuan terhadap kontribusi perempuan dalam sektor perdamaian dan keamanan. Padahal, tanpa keterlibatan perempuan, upaya perdamaian dan keamanan menjadi tidak masuk akal.
“Kuncinya adalah afirmasi. Kalau mau perempuannya bisa maju dan berdaya bersama dengan laki-laki untuk mengupayakan dunia yang lebih baik,” ujarnya dalam seminar bertajuk Peran Strategis Sektor Pertahanan dalam Agenda Women, Peace, and Security (WPS) di Universitas Pertahanan, Jakarta, Rabu (7/5).
Irine menambahkan, komitmen terhadap pengarusutamaan gender harus dilandasi tindakan nyata, bukan hanya retorika. Ia menyebut Indonesia telah menjadi inisiator dalam mendorong partisipasi perempuan di tingkat global, termasuk di PBB. Namun, menurutnya, ukuran kemajuan bukan hanya jumlah perempuan di parlemen, melainkan seberapa banyak regulasi yang berpihak pada kesetaraan gender.
“Hari ini tuntutan untuk WPS bukan lagi sekadar jargon. Ini adalah PR kita bersama,” tegasnya.
Irine juga menyinggung peran parlemen dunia, termasuk forum-forum internasional seperti di Uzbekistan, yang kini mulai menempatkan perempuan sebagai aktor utama dalam menangani konflik. Ia mendorong sinergi antara parlemen dan eksekutif, serta pentingnya pendidikan dan standarisasi global yang mendukung keanggotaan Indonesia di organisasi internasional strategis.
“Akan menjadi sangat konyol kalau perempuan tidak diikutsertakan dalam membahas penanganan konflik,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI, Desy Ratnasari mengatakan, perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Ia merujuk pada Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB yang menegaskan peran perempuan dalam perdamaian global.
“Perempuan harus menjadi pengambil keputusan dan subjek aktif dalam pelaksanaan pertahanan,” imbuh Desy.
Desy juga mengkritik budaya politik yang masih mengabaikan sensitivitas gender. Ia mengajak semua pihak untuk memberi ruang dan kesempatan yang adil bagi perempuan. Menurutnya, keterlibatan perempuan bisa memberikan pendekatan yang lebih inklusif dan damai, terutama dalam konflik yang kompleks seperti di Palestina dan Israel.
“Perempuan harus diberi ruang untuk menjadi subjek, bukan sekadar objek, dalam sistem pertahanan dan kebijakan publik,” katanya.
Dalam konteks sosial-politik, Desy juga menyoroti pentingnya kehadiran perempuan dalam politik untuk memastikan bahwa kebijakan publik memiliki perspektif gender. Ia mengajak kaum perempuan untuk tidak ragu memasuki ruang politik dan pengambilan keputusan.
“Kalau perempuan alergi terhadap dunia politik, bagaimana kita bisa memastikan kebijakan itu berdampak bagi kita?” ujarnya.
Ketua Yayasan Vanita Naraya, Diah Pitaloka menambahkan, pengarusutamaan agenda Women, Peace, and Security harus menjadi prioritas, terutama di sektor pertahanan. Diah menekankan pentingnya sinergi antara lembaga pertahanan, parlemen, dan masyarakat sipil untuk mengintegrasikan kerangka WPS dalam kebijakan nasional.
“Perempuan harus diakui sebagai agen perubahan, terutama sebagai mediator dan negosiator perdamaian,” terangnya.
Diah menyoroti kontribusi Indonesia yang telah memiliki regulasi pendukung seperti UU Nomor 7 Tahun 2012 dan Perpres No. 18 Tahun 2014. Indonesia juga telah menyusun dua rencana aksi nasional perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam konflik sosial. Hal ini, menurutnya, mencerminkan keseriusan Indonesia dalam melaksanakan agenda global WPS.
“Parlemen juga aktif mendorong Kementerian Pertahanan untuk meningkatkan kapasitas dan persentase perempuan di sektor pertahanan,” katanya.
Di tingkat internasional, Indonesia telah aktif mengirimkan pasukan penjaga perdamaian yang dilatih khusus dalam aspek perlindungan hak asasi manusia dan sensitifitas gender. Diah menyebut bahwa Indonesia termasuk negara dengan peringkat tinggi dalam indeks perdamaian global.
“Kita ingin Indonesia menjadi pusat pelatihan dan riset dalam penguatan peran perempuan di sektor perdamaian,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Pascasarjana Universitas Pertahanan, Bambang Irwanto menegaskan, keamanan bukan lagi semata urusan militer, melainkan juga menyangkut kebebasan dari rasa takut dan ancaman.
“Ancaman adalah sumber ketakutan. Maka keamanan harus dimaknai sebagai kebebasan dari ancaman itu,” jelasnya.
Ia menambah, pendekatan keamanan kini telah berkembang dari militeristik ke sipil. Ia mendukung pelibatan lebih luas dari kalangan sipil, termasuk perempuan, dalam studi dan kebijakan pertahanan.
“Pertahanan bukan lagi urusan eksklusif militer. Maka penting bagi kalangan sipil memahami dan terlibat dalam perumusan kebijakan pertahanan,” katanya.
Menurut Bambang, Universitas Pertahanan sebagai lembaga pendidikan strategis harus menjadi melting point antara pendekatan militer dan sipil. Dengan begitu, lahir kebijakan yang lebih holistik dan inklusif dalam menjawab tantangan keamanan masa kini.
“Kita butuh kolaborasi lintas disiplin dan lintas gender untuk mewujudkan sistem pertahanan yang kuat dan berkeadilan,” pungkasnya. (I-1)