
RENCANA implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan mendapat penolakan serikat pekerja. Hal itu terungkap dalam Forum Jaminan Sosial yang diselenggarakan Dewan Jaminan Sosial Nasional di Jakarta, Rabu (21/5).
Forum itu dihadiri sejumlah serikat pekerja seperti Institut Hubungan Industrial Indonesia, Forum Jaminan Sosial Pekerja dan Buruh, dan Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).
PELAYANAN AKAN MENURUN
Ketua Forum Jaminan Sosial Pekerja dan Buruh Jusuf Rizal menyebut pihaknya menolak gagasan KRIS ini. Ia membeberkan sejumlah masalah terkait ide tersebut. Misalnya terkait jumlah maksimal empat tempat tidur per kamar.
Baca juga : DJSN: KRIS untuk Meningkatkan Mutu Pelayanan Rawat Inap
"Selama ini pekerja/buruh memiliki hak pelayanan rawat inap di klas 1 atau 2 yang jumlah tempat tidurnya antara 1 sampai 3 tempat tidur, sehingga bila nanti diturunkan ke empat tempat tidur maka ini akan menurunkan kualitas layanan kepada pekerja/buruh dan keluarganya. Pekerja dan buruh sudah membayar iuran cukup besar yaitu 5% dari maksimal upah Rp12 juta per bulan," katanya.
Pihaknya juga khawatir dengan penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan yang berpotensi memicu terjadinya defisit pembiayaan JKN sehingga pelayanan JKN kepada nasyarakat termasuk pekerja/buruh dan keluarganya akan semakin menurun pula.
"Jadi kita minta, udahlah pemerintah concern aja bagaimana mengamankan dana-dana BPJS kesehatan untuk bisa meng-cover, memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat," katanya.
Baca juga : DJKN Dorong Penetapan Iuran KRIS BPJS Kesehatan Segera Ditetapkan
LEBIH BANYAK MUDARATNYA
Ketua Institut Hubungan Industrial Indonesia Saepul Tavip menyebut KRIS ini bagi kalangan serikat pekerja lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
"Dan implikasinya luar biasa terhadap kalangan buruh yang selama ini berada di kelas 1 dan kelas 2. Kalau disamaratakan nanti, itu akan mengalami downgrade. Nah kalau pemerintah berniat mengupgrade ruang rawat inap, ya harusnya memperbaiki yang lemah itu, yang kurang itu diperbaiki, di-upgrade. Jangan yang sudah baik mengalami downgrade. Itu yang kami tolak," ungkapnya.
Ia menyebut penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan akan menurunkan jumlah ruang perawatan dan jumlah tempat tidur. Peserta JKN termasuk pekerja/buruh akan semakin sulit mengakses layanan ruang perawatan.
Baca juga : Belum Ada Penetapan Tarif Iuran Baru BPJS Kesehatan
"Saat ini saja dengan adanya klas 1, 2 dan 3 akses ke ruang rawat inap masih sulit apalagi bila jumlah ruang perawatan dikurangi dengan signifikan maka pasien JKN akan semakin sulit," ungkapnya.
TIMBULKAN MASALAH SERIUS
Ketua Umum DPP KSBSI Johannes Dartha Pakpahan menyebut penerapan KRIS berpotensi menimbulkan berbagai masalah serius. Itu terutama dalam hal akses pelayanan dan pembiayaan.
"Jika KRIS ini diterapkan, akan terjadi penurunan jumlah tempat tidur untuk peserta JKN. Rumah sakit pemerintah hanya diwajibkan menyediakan 60% ruang rawat inap untuk peserta JKN, sementara rumah sakit swasta hanya 40%. Padahal saat ini hampir 100% tempat tidur di rumah sakit telah digunakan untuk peserta JKN dan tetap penuh, bahkan banyak pasien yang harus menunggu di IGD," kata Dartha.
Baca juga : Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) Segera Berlaku, Ini Langkah RS di Batam
Dengan urgensi penerapan KRIS ini, Dartha khawatir penerapan KRIS memiliki motif hanya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Padahal, tujuan implementasi KRIS ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi peserta.
Untuk itu, Dartha meminta agar Presiden Republik Indonesia maupun para regulator untuk mengkaji ulang berbagai kebijakan jaminan sosial agar tidak menyulitkan masyarakat khususnya para buruh.
REGULATOR TIDAK BERPIHAK PADA RAKYAT
Selain itu, penolakan implementasi KRIS juga dilayangkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan Ahmad Supriadi. Ia juga menyoroti peran dari regulator yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, khususnya bagi para buruh.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada yang mengatakan bahwa KRIS harus satu kelas. Terbitnya Perpres 59 tahun 2024 juga sangat disayangkan oleh Timbul, lantaran tidak melibatkan peran masyarakat dalam penyusunan regulasi tersebut.
"Faktanya kalau peserta mau ke rumah sakit kita selalu mendapatkan kendala. Masih ada peserta yang kesulitan mendapatkan ruang rawat inap. Khawatirnya adalah, dengan rencana penurunan kualitas layanan melalui KRIS ini akan menjadi pembuka bagi pemerintah dan rumah sakit untuk mendorong peserta memanfaatkan asuransi komersial dalam mengakses pelayanan," tambah Timbul.
TERIMA SEMUA MASUKAN
Pada kesempatan yang sama, Ketua DJSN Nunung Nuryantono mengatakan pihaknya menerima setiap masukan yang disampaikan seluruh pemangku kepentingan. Hal itu dalam upaya untuk semakin meningkatkan mutu layanan perbaikan dan sistem perlindungan sosial di Indonesia, khususnya jaminan sosial.
"Jadi sekarang proses sedang berjalan, karena di dalamnya ada pokja-pokja yang sedang membahas semua itu. Dan mudah-mudahan proses ini juga bisa kita selesaikan bersama. Saya kira ini juga melibatkan seluruh kementerian/lembaga," katanya. (H-1)