Ketika Ketulusan Diadili

1 day ago 4
Ketika Ketulusan Diadili Suyoto.(DOK SUYOTO)

HUKUM seharusnya menjadi penjaga keadilan. Namun dalam praktik, ia kerap terperangkap pada administrasi, bukan pada nurani. Hal ini kembali dipertanyakan dalam perkara hukum yang menimpa Dr Hamim Pou, mantan Bupati Bone Bolango, yang kini duduk sebagai terdakwa atas kebijakan bantuan sosial yang dia salurkan lebih dari satu dekade silam.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar. Apakah hukum masih mampu membedakan antara kesalahan administratif dan niat jahat? Antara kebijakan pro-rakyat dan penyimpangan kekuasaan?

Antara pasal dan nurani

Selama tiga bulan lebih persidangan berjalan, fakta-fakta yang terungkap justru menunjukkan sebaliknya dari dakwaan. Para saksi menyampaikan bahwa bantuan sosial yang diberikan telah tertuang dalam APBD, tercatat dalam dokumen resmi, dan disalurkan oleh dinas teknis, bukan atas perintah langsung kepala daerah. 

Tidak satu pun saksi menyebut ada keuntungan pribadi yang diambil oleh Hamim.

Saksi ahli dari BPKP menyatakan bahwa tidak ada indikasi penyimpangan langsung, sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menegaskan bahwa tidak terdapat kerugian negara. Sementara itu, para penerima bantuan – mahasiswa, takmir masjid, masyarakat kecil – justru bersaksi bahwa mereka menerima manfaat secara utuh.

Dalam kerangka seperti ini, proses hukum yang terus bergulir justru berpotensi menjadi cermin dari apa yang disebut para pengamat sebagai “kriminalisasi kebijakan”. Ketika keputusan strategis yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat justru dikriminalisasi, maka sesungguhnya yang diadili bukan hanya orang, tetapi nilai keberpihakan itu sendiri.

Politik administrasi vs substansi keadilan

Prof Satjipto Rahardjo, dalam banyak pemikirannya, mengingatkan bahwa, “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” 

Jika kita menegakkan hukum tanpa mempertimbangkan keadilan substantif, maka kita sedang menciptakan sistem yang menghukum niat baik hanya karena kekakuan administratif.

Hamim Pou bukanlah pemimpin flamboyan. Ia tidak banyak bicara, tapi banyak bekerja. Selama 13 tahun memimpin, ia membangun rumah sakit daerah, membuka akses ke wilayah terpencil, membangkitkan ekonomi desa lewat ternak dan infrastruktur, serta memelopori reformasi birokrasi digital di Indonesia Timur. Dua kali ia menerima Satyalancana Pembangunan dari Presiden, dan lebih dari itu, ia menerima cinta dari rakyat yang dibantunya.

Namun kini, yang dikenang bukan capaian itu, melainkan dakwaan. Dan jika ini dibiarkan, maka pesan yang sampai kepada para kepala daerah di seluruh Indonesia sangat berbahaya, berhati-hatilah jika hendak membantu rakyat kecil, karena ketulusan Anda bisa berbalik menjadi jerat hukum.

Demokrasi yang meragukan diri

Dalam demokrasi yang sehat, hukum adalah pilar penyeimbang kekuasaan. Namun ketika hukum digunakan untuk menilai niat dengan kacamata pasal, maka demokrasi justru mencederai dirinya sendiri.

Dalam kasus ini, pertarungan bukan lagi antara jaksa dan pembela, tetapi antara legalisme dan keadilan. Akankah logika hukum mampu menangkap substansi kebaikan? Ataukah yang akan menang adalah prosedur semata?

Seorang pengacara publik yang mengikuti persidangan ini berkata, “Jika semua orang yang dibantu merasa tertolong, dan negara tidak dirugikan, untuk siapa sesungguhnya proses hukum ini dijalankan?”

Pertanyaan ini layak menjadi refleksi kita bersama, apakah demokrasi kita masih mampu melindungi pemimpin yang jujur dan berpihak?

Ujian bagi kita semua

Hamim Pou pernah berkata dalam satu kesempatan, “Saya tak pernah meminta ujian ini. Tapi mungkin ini cara Allah menguji apakah saya tetap bisa jujur meski tidak dipercaya, tetap tenang meski diguncang.”

Kini, bukan hanya beliau yang diuji. Kita semua, sebagai bangsa, sedang diuji: masihkah kita mampu melihat dengan hati yang adil? Masihkah kita membedakan mana yang salah, dan mana yang dikorbankan atas nama kesalahan?

Kasus Hamim Pou bukan sekadar perkara hukum, tapi refleksi atas kualitas demokrasi dan penegakan hukum di negeri ini. Dan ketika ketulusan mulai diadili, maka kita patut bertanya, masih adakah tempat bagi pemimpin yang memberi tanpa pamrih?

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |