
PERNAH mendengar sindrom patah hati? Mungkin hal ini terdengar klise atau picisan, namun ternyata hal ini benar-benar ada. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar, dr. Dito Anurogo menjelaskan bahwa sindrom patah hati pertama kali diidentifikasi di Jepang pada 1990 dan dinamai "Takotsubo" karena bentuk jantung yang mirip dengan perangkap udang tradisional Jepang, takotsubo.
“Kondisi ini terjadi ketika stres emosional atau fisik ekstrem menyebabkan bagian dari jantung untuk membesar dan tidak berfungsi dengan baik, sementara bagian lainnya berfungsi normal atau bahkan dengan kontraksi yang lebih kuat,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Selasa (10/6)
Gejala sindrom patah hati sangat mirip dengan serangan jantung, termasuk nyeri dada dan kesulitan bernapas. Hal ini sering menyebabkan penderitanya dilarikan ke UGD dengan dugaan serangan jantung. Namun, berbeda dari serangan jantung, penyumbatan arteri tidak sering ditemukan pada pasien dengan sindrom patah hati.
Faktor risiko utama sindrom patah hati adalah stres emosional berat, seperti kematian orang yang dicintai, perceraian, atau bahkan kejutan yang menyenangkan seperti menang lotere. Perempuan dengan menopause memiliki risiko lebih tinggi, meskipun ini bisa terjadi pada siapa saja, dari berbagai usia.
Meskipun banyak pasien pulih sepenuhnya dalam beberapa minggu, kondisi ini bukan tanpa risiko. Komplikasi bisa termasuk gangguan irama jantung, gagal jantung, dan dalam kasus yang sangat jarang, kematian mendadak.
Untuk pengobatan sindrom patah hati sering melibatkan obat-obatan yang sama dengan yang digunakan untuk mengobati gagal jantung atau serangan jantung, seperti beta-blocker dan ACE inhibitor. Aspek penting lainnya adalah manajemen stres, yang dapat mencakup terapi, meditasi, dan latihan fisik.
Sindrom patah hati sendiri menjadi peringatan penting tentang betapa kuatnya hubungan antara kesehatan emosional dan fisik. Ini membuktikan bahwa trauma emosional tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental, tetapi juga memiliki efek yang sangat nyata dan kadang-kadang berbahaya pada kesehatan fisik kita, khususnya jantung.
Dengan meningkatnya kesadaran dan penelitian, masyarakat harus semakin memahami bahwa sindrom patah hati bukan hanya soal perasaan, tetapi sebuah kondisi medis yang serius. Penting bagi masyarakat untuk tidak hanya memperhatikan kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan emosional, karena keduanya saling terkait erat.
“Sindrom patah hati membuka mata kita tentang betapa rapuhnya tubuh manusia terhadap guncangan emosional. Meningkatnya pemahaman ini tidak hanya penting bagi dunia medis, tetapi juga bagi masyarakat umum, untuk menyadari bahwa mengelola stres dan menjaga kesehatan emosional sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Dengan memahami dan merespons secara adekuat terhadap kondisi ini, kita dapat tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup banyak orang,” pungkasnya. (Des/I-1)