
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah berkoordinasi dengan Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO) POLRI untuk menindak keberadaan grup Facebook dengan nama “fantasi sedarah” atau inses yang mengandung unsur eksploitasi seksual dan telah meresahkan masyarakat.
“Kemen PPPA telah melakukan upaya preventif berupa koordinasi dengan Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO) POLRI untuk dapat segera menindaklanjuti akun medsos Facebook tersebut,” ujar Sekeretaris KemenPPPA, Titi Eko Rahayu dalam keterangannya pada Minggu (18/5).
Bukti Pelanggaran
Titi menjelaskan melalui adanya bukti pelanggaran, proses hukum harus ditegakkan demi memberi efek jera untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dari dampak buruk konten menyimpang.
“Jika ada bukti pelanggaran, proses hukum harus ditegakkan demi memberi efek jera dan melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dari dampak buruk konten menyimpang,” ujar Titi.
Titi menegaskan bahwa keberadaan dan diskusi antar anggota grup Facebook tersebut telah memenuhi tindakan kriminal, berupa penyebaran konten bermuatan seksual, terutama yang melibatkan inses atau dugaan eksploitasi seksual.
“KemenPPPA sangat prihatin dan mengecam keras keberadaan grup Facebook yang menormalisasi tindakan incest yang sangat membahayakan terutama bagi perempuan dan anak,” tukasnya.
Nilai Moral
Titi menilai, keberadaan grup semacam ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral sekaligus mengancam keselamatan dan masa depan anak-anak Indonesia.
“Fantasi seksual yang melibatkan inses bukan hanya tidak pantas, akan tetapi juga dapat merusak persepsi publik terhadap hubungan keluarga yang sehat," ujar Titi.
Pidana Siber
Hal itu, lanjut Titi dapat dikenakan pasal-pasal dalam Undang-Undnag No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Titi sangat berharap laporan kami yang telah disampaikan tersebut juga dapat ditindaklanjuti oleh Direktorat Tindak Pidana Siber agar dapat segera diselidiki pembuat, pengelola, dan anggota aktif grup tersebut.
Konten Eksploitasi
Titi juga mendorong Facebook sebagai platform digital untuk tanggap merespons dengan cepat terhadap konten yang melakukan eksploitasi seksual konten-konten lain yang membahayakan perempuan dan anak.
“Ada tanggung jawab etis dan hukum dari penyedia platform untuk menjaga ruang digital tetap aman dan bersih,” tegas Titi.
Literasi Digital
Selain itu, Titi mengatakan kasus ini menyoroti pentingnya edukasi yang menyeluruh tentang literasi digital dan seksualitas yang sehat.
“Kemen PPPA dengan menggandeng pihak lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Dinas PPPA di daerah dan para relawan sering melakukan kampanye literasi digital bagi anak dan orang tua agar lebih bijak dan waspada dalam penggunaan media sosial.
Peran Keluarga
Menurutnya, peran keluarga sebagai tempat utama dalam membentuk karakter, nilai moral, serta kebiasaan sosial anak sejatinya tidak tergantikan oleh apapun termasuk oleh kemajuan teknologi digital.
“Untuk itu, tidak henti-hentinya kami mendorong dan mengedukasi orang tua tentang pentingnya mendiskusikan aturan penggunaan internet dan mengenalkan anak pada cara melaporkan konten yang tidak sesuai,” ungkap Titi.
Cegah Kekerasan
Lebih jauh, sebagai salah satu upaya untuk mencegah adanya kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak, Kemen PPPA juga mendorong pengembangan Ruang Bersama Indonesia (RBI) berbasis isu perlindungan anak di tingkat desa/kelurahan.
“RBI menjadi forum kolaboratif antara Keluarga, Babinsa, Bhabinkamtibmas, tokoh agama, tokoh masyarakat, perangkat desa, dan elemen masyarakat lainnya untuk mencegah serta menangani anak dengan perilaku menyimpang secara terpadu,” ujarnya.
Kemen PPPA juga memiliki kanal pengaduan melalui layanan call center SAPA 129 dan WhatsApp 08111-129-129. Masyarakat dapat langsung melaporkan ke SAPA129 apabila menemukan indikasi eksploitasi seksual, kekerasan terhadap anak perempuan dan anak serta aktivitas mencurigakan di ruang digital atau kanal pengaduan resmi lainnya. (Dev/P-3)