
EKONOM Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky memperkirakan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) pada level 5,50% di bulan ini.
Keputusan ini didorong oleh kondisi domestik yang relatif stabil, ditopang oleh inflasi yang masih terkendali, meski ketegangan geopolitik global dan kebijakan tarif dari Amerika Serikat terus menjadi ancaman eksternal.
"Mempertimbangkan perkembangan tersebut, kami menilai BI perlu mempertahankan BI rate di level 5,50% pada rapat dewan gubernur bulan Juli," ujar Riefky dalam keterangan resmi, Selasa (15/7).
Dia menjelaskan inflasi pada Juni 2025 tercatat sebesar 1,87% (yoy), naik dari 1,60% pada Mei 2025. Meskipun terjadi peningkatan, angka ini masih berada dalam target Bank Indonesia sebesar 1,5%–3,5%. Kenaikan inflasi terutama didorong oleh kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya yang mengalami inflasi 9,30% (yoy) pada Juni, sedikit meningkat dari 9,24% pada Mei.
Jika dilihat lebih terperinci, Riefky menerangkan komoditas perhiasan emas menunjukkan harga yang fluktuatif akibat ketidakpastian global, yang mendorong investor untuk mengurangi berbagai risiko dengan membeli aset safehaven.
Di samping itu, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencatat inflasi sebesar 1,99% (yoy) pada Juni 2025, meningkat hampir dua kali lipat dari 1,03% (yoy) pada Mei 2025. Kontribusi terbesar berasal dari beras dan ikan, akibat penurunan jumlah pasokan.
Dari sisi neraca perdagangan, setelah sempat menyusut ke level terendah dalam lima tahun terakhir pada April 2025 (US$158 juta), surplus perdagangan kembali menguat menjadi US$4,30 miliar pada Mei 2025. Ini merupakan surplus bulan ke-61 berturut-turut dan naik 45,47% dibandingkan Mei 2024 yang sebesar US$2,94 miliar.
Secara kumulatif, surplus perdagangan periode Januari–Mei 2025 mencapai US$15,38 miliar, tumbuh 17,76% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (US$13,06 miliar).
Peningkatan ini didorong oleh pertumbuhan ekspor yang melampaui impor. Sementara itu, impor naik 4,14% (yoy) menjadi US$20,31 miliar dari US$19,51 miliar, meski menurun 1,32% secara bulanan (mtm) dibanding April 2025.
Sikap hati-hati The Fed
Riefky menambahkan, dari faktor global, The Federal Reserve (The Fed) masih mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 4,25%–4,50% sejak Desember 2024. Sikap ini mencerminkan kebijakan moneter yang berhati-hati dan berbasis data, seiring dengan terus dipantaunya inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat kebijakan dagang.
Meskipun data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS untuk Juni yang dijadwalkan dirilis pada 15 Juli waktu setempat, pasar memperkirakan inflasi umum akan meningkat sebesar 0,3% (mtm) dari 0,1% pada Mei. Jika proyeksi ini akurat, inflasi tahunan akan naik menjadi sekitar 2,7% (yoy), dari 2,4% bulan sebelumnya. Ini berpotensi mencerminkan dampak awal dari kebijakan tarif baru yang diberlakukan sejak April 2025.
Rupiah menguat
Meski terdapat arus modal keluar bersih dari pasar obligasi dan saham domestik, nilai tukar rupiah justru menguat sebesar 0,22% (mtm) antara 11 Juni hingga 10 Juli 2025, mencapai Rp16.215 per dolar AS. Ini menunjukkan bahwa dana asing tidak sepenuhnya dialihkan ke aset berdenominasi dolar, melainkan ke aset safe haven lainnya.
Penguatan ini juga tecermin dari lonjakan harga emas global selama periode tersebut yang naik lebih dari 40% dibandingkan tahun sebelumnya, menandakan meningkatnya permintaan global terhadap aset rendah risiko. Sementara itu, indeks Dolar AS (DXY) melemah dari 98,63 ke 97,65, mengindikasikan penurunan nilai dolar secara global.
"Dengan mempertimbangkan stabilitas domestik, tekanan eksternal, dan dinamika pasar global, BI dinilai perlu memprioritaskan stabilitas nilai tukar dan mempertahankan suku bunga acuan," pungkas Riefky. (Ins/E-1)