
PROGRAM pembinaan di barak militer sebagai respons terhadap meningkatnya kenakalan remaja patut diapresiasi sebagai upaya nyata membentuk disiplin dan karakter generasi muda.
Namun, agar program ini memberikan dampak jangka panjang, pendekatan yang digunakan perlu disandingkan dengan pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap akar perilaku anak, khususnya dari perspektif psikologi dan lingkungan ekologis anak.
Psikolog IPB University, yang juga dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB University Nur Islamiah mengatakan, dalam ilmu psikologi, perilaku menyimpang tidak semata-mata merupakan bentuk kenakalan, melainkan "sinyal" dari ketidakseimbangan dalam ekosistem kehidupan anak.
Ia menyebut teori ekologi dari Bronfenbrenner yang menekankan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sistem yang saling terkait, mulai dari keluarga, sekolah, hingga lingkungan sosial yang lebih luas.
MI/HO--Psikolog IPB University, yang juga dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB University Nur Islamiah
"Ketika seorang anak menunjukkan perilaku bermasalah, pertanyaan penting seharusnya diarahkan ke lingkungan terdekatnya, apakah anak merasa diperhatikan, diasuh secara konsisten, dan diliputi rasa aman?" ucap sosok yang kerap disapa Mia itu.
Mengutip teori kelekatan dari Bowlby, Mia mengatakan ketiadaan hubungan emosional yang aman dengan orangtua atau pengasuh utama dapat membuat anak kesulitan mengelola emosi.
Dalam banyak kasus, perilaku negatif menjadi cara anak "berteriak", tanda untuk mengekspresikan kebutuhan yang tidak terpenuhi.
"Jika kondisi ini hanya direspons dengan pendekatan militeristik seperti push-up, baris-berbaris, atau kegiatan fisik lainnya, bukan hanya perubahan perilaku yang tidak tercapai secara berkelanjutan, tetapi juga muncul risiko menambah luka psikologis yang tersembunyi," katanya.
Mia turut mengungkap teori pembelajaran sosial dari Bandura. Teori ini menggarisbawahi bahwa anak belajar melalui pengamatan dan peniruan terhadap figur di sekitarnya. Jika ia tumbuh di lingkungan yang sarat kekerasan atau ketegangan emosional, pola itulah yang cenderung direproduksi.
"Karena itu, anak tidak cukup diberi perintah, tetapi perlu disuguhkan contoh konkret tentang empati, komunikasi yang sehat, dan pengendalian emosi. Oleh karena itu, titik paling krusial yang tak boleh diabaikan dalam pembinaan anak adalah adalah peran dan tanggung jawab orangtua," ungkapnya.
Mia melanjutkan, ketika seorang anak dianggap 'nakal', sangat mungkin yang ia lakukan adalah cerminan dari pola asuh di rumah. Oleh karena itu, tegasnya, orang tua juga perlu dibina. Tidak cukup hanya membina anak di luar rumah jika pola pengasuhan dalam keluarga tetap tidak berubah.
"Program seperti ini akan jauh lebih kuat jika orang tua diberikan pelatihan paralel, yakni tentang pola asuh yang sehat, keterampilan komunikasi, dan cara mengelola emosi dalam menghadapi dinamika anak dan remaja," ucapnya.
Agar perubahan benar-benar menyentuh dan berkelanjutan, Mia menyarankan perlunya asesmen psikologis menyeluruh sebelum dan sesudah program. Selain itu, diperlukan pendampingan psikososial selama pelaksanaan, serta evaluasi berkala yang menilai tidak hanya perilaku, tetapi juga kondisi emosional anak.
"Semoga kebijakan yang telah dijalankan dapat terus dikembangkan menjadi ruang pembinaan yang tidak hanya membentuk kedisiplinan, tetapi juga menyuburkan kembali nilai-nilai luhur dalam diri anak," pungkas Mia. (Z-1)