
INDEKS demokrasi Indonesia mengalami stagnasi akibat berbagai tantangan seperti menguatnya politik populis, penyimpangan kebijakan terkait kebebasan sipil, serta manipulasi negara oleh pemerintah untuk kepentingan kekuasaan.
"Salah satu faktor utama stagnasi demokrasi adalah fenomena shadow state atau negara bayangan," kata Guru Besar Universitas Nasional (Unas) sekaligus Ketua Komisi Ilmu Sosial pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KIS-AIPI) Prof Syarif Hidayat saat jadi pembicara utama diskusi bertajuk Demokrasi Cukong: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris yang digelar Program Doktor Ilmu Politik Unas.
Mengacu pada teori William Reno (1995), ilmuwan politik asal Amerika Serikat, shadow state merujuk pada aliansi informal antara elit politik, pengusaha, birokrat, militer, dan preman yang mengendalikan pemerintahan formal.
"Fenomena ini muncul akibat melemahnya fungsi institusi negara sehingga kepentingan bisnis menjadi lebih dominan dalam pengambilan keputusan politik," ujarnya.
Prof Syarif menjelaskan pascareformasi terjadi perubahan besar dalam relasi antara bisnis dan politik. Jika pada era Orde Baru sektor bisnis berada dalam subordinasi negara, kini negara justru berada di bawah kendali bisnis. Hal ini semakin memperkuat dominasi oligarki kapitalis dalam menentukan arah kebijakan negara.
"Relasi ini semakin dipererat melalui praktik politik transaksional, yakni kapitalis tidak hanya menjadi penyokong, tetapi bahkan pemilik partai politik sehingga bisa memengaruhi keputusan-keputusan strategis negara," paparnya.
Dia menegaskan fenomena demokrasi cukong merupakan bentuk nyata dari kolaborasi antara oligarki partai politik dan kapitalis. Praktik ini menciptakan shadow state, sebuah arena tempat kepentingan politik dan ekonomi bertemu untuk mempertahankan kekuasaan segelintir elit.
"Akibatnya, demokrasi tidak lagi berjalan berdasarkan mekanisme partisipasi publik yang sehat, melainkan dikendalikan oleh kepentingan oligarki," terangnya.
Di akhir pemaparan, Prof Syarif merefleksikan masa depan demokrasi Indonesia. Meskipun transisi demokrasi pasca Orde Baru telah berhasil mengakhiri otoritarianisme, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam melepaskan diri dari cengkeraman oligarki.
Karena itu, ia berharap forum ini dapat menjadi pemantik diskusi lebih lanjut mengenai strategi memperkuat demokrasi dan mengurangi dominasi oligarki dalam politik.
"Kami juga berharap diskusi ini menjadi wadah refleksi bagi akademisi dan praktisi politik menjaga identitas demokrasi Indonesia," imbuhnya. Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni Unas Prof Suryono Efendi menyampaikan diskusi mengenai demokrasi merupakan langkah positif bagi institusi pendidikan.
Ia menekankan tema ini sangat relevan dengan kondisi saat ini mengingat berbagai tantangan yang dihadapi dalam menjaga sistem demokrasi yang sehat.
"Ada upaya untuk mensentralisasikan kekuasaan melalui sinergi, tetapi di sisi lain, ada juga ancaman yang berpotensi melemahkan demokrasi itu sendiri," ujar Prof Suryono.
Lebih lanjut, ia menyoroti fenomena demokrasi cukong, yang bukan sekadar wacana, melainkan realitas yang berdampak langsung terhadap kebijakan politik dan tata kelola negara.
"Demokrasi saat ini menghadapi tantangan serius dari dominasi oligarki. Modal besar memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan, yang pada akhirnya dapat mengancam keseimbangan demokrasi yang ideal," tegas Suryono. (H-2)