
EMPAT mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menggugat Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatur tentang pengangkatan/pengisian hakim konstitusi karena tidak mengatur kuota perempuan. Para pemohon menilai, aturan tersebut membuat pengisian hakim konstitusi khususnya yang berjenis kelamin perempuan menjadi tidak pasti.
Dalam permohonan, Aulia Shifa Salsabila, Meika Yudiastriva, Safira Ika Maharani, Nadia Talitha Ivanadentrio, mengatakan bahwa selama MK berdiri hingga berusia 22 tahun pada 2025 ini, hakim perempuan selalu hanya satu orang dari total sembilan hakim konstitusi.
Hakim tersebut adalah Maria Farida Indrati, Guru Besar Hukum Perundang-undangan Universitas Indonesia, yang menjabat sebagai hakim konstitusi sejak 2003 hingga 2018, dan Enny Nurbaningsih yaitu Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, yang menggantikan Maria sejak 2018 hingga sekarang.
“Pasal 18 ayat (1) UU MK telah menyebabkan ketidakpastian hukum akan aturan komposisi kuota hakim laki-laki dan perempuan (memperhatikan keterwakilan perempuan), sehingga para pemohon mencari keadilan terkait komposisi hakim yang equality gender dengan berencana mengajukan aturan mengenai komposisi pencalonan hakim konstitusi,” tulis para pemohon seperti dikutip dari dokumen gugatan pada Rabu (19/3).
Dua mahasiswa tersebut juga merasa dirugikan karena dengan tidak menyertakan kuota pasti hakim konstitusi dari perempuan, hal itu berpotensi terjadinya bias gender atau diskriminasi gender di lembaga MK. Para mahasiswa ini didampingi dosen-dosen mereka sebagai kuasa hukum, salah satunya Allan FG Wardana.
“Dalam hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum yang merugikan pemohon sebagai mahasiswa hukum yang mencari keadilan atas potensinya menjadi calon hakim konstitusi di masa depan,” jelasnya.
Pasal 18 Ayat (1) UU MK berbunyi: ”Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden”.
Menurut Allan, Pasal 18 Ayat (1) UU MK membutuhkan tafsir atau pemaknaan mengenai jumlah komposisi hakim laki-laki dan perempuan dalam penggantian hakim yang diajukan oleh tiga institusi pengusul. Tafsir ini penting untuk memberikan sebuah ruang keadilan bagi kaum perempuan yang ingin menjadi hakim konstitusi serta kepastian hukum ke tiap WNI yang ingin mengajukan diri sebagai hakim konstitusi.
Atas dasar itu, para pemohon meminta MK untuk menambahkan ketentuan mengenai komposisi gender ke dalam pasal tersebut dengan memperhatikan keterwakilan perempuan.
Pasal 18 Ayat (1) UU MK diubah menjadi, ”Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.”
Pada dokumen permohonan, Allan menguraikan data hakim konstitusi dan pergantiannya sejak tahun 2003 yang dilansir dari laman resmi MK. Pergantian hakim sejak MK berdiri didominasi laki-laki dengan persentase 96,8%, sedangkan perempuan hanya 3,1 persen. Tidak adanya ketentuan mengenai komposisi hakim laki-laki dan perempuan, khususnya mengenai keterwakilan 30% perempuan, membuat ketidakpastian hukum dalam proses seleksi hakim konstitusi.
Komposisi hakim perempuan timpang
Allan menjelaskan bahwa komposisi hakim konstitusi yang ada di Indonesia saat ini tidak seimbang antara jumlah hakim laki-laki dan perempuan sehingga terkesan diskriminatif. Apabila dibandingkan dengan negara lain, komposisi hakim konstitusi di Indonesia masih timpang.
Dalam permohonannya, Allan membandingkan komposisi hakim konstitusi perempuan di beberapa negara lain seperti Korea Selatan, dari delapan hakim konstitusi, komposisinya terdiri dari 4 laki-laki dan 4 perempuan.
Sementara itu, Malaysia memiliki 10 hakim konstitusi dengan empat di antaranya perempuan, Austria memiliki 14 hakim konstitusi dengan 4 diantaranya perempuan, Mahkamah Agung Amerika Serikat memiliki 5 hakim agung laki-laki dan 4 hakim agung perempuan, serta Jerman memiliki 9 hakim konstitusi laki-laki dan 7 hakim konstitusi perempuan.
“Bahwa melihat keadaan Mahkamah Konstitusi atau yang sejenis di beberapa negara yang telah dijabarkan diatas, menjadikan permohonan a quo menjadi relevan yaitu perlu ada keterwakilan perempuan sebesar 30%,” jelas Allan.
Selain itu, para pemohon juga membandingkan dengan keterwakilan perempuan di parlemen yang dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung. MK sendiri pernah memutus sengketa pemilu dengan nomor 125-01-08-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 terkait sengketa di Daerah Pemilihan Gorontalo 6 yang memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) karena partai politik tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30% dalam pengajuan calon anggota legislatifnya. (Dev/M-3)