
PERISTIWA perundungan antar-dokter ataupun kasus pelecehan seksual oleh tenaga kesehatan beberapa waktu terakhir ini telah membentuk atmosfer sosial penuh prasangka. Ruang komentar di media sosial ibarat forum penghakiman massal, mengeksekusi dokter sebagai representasi dari sistem yang mengecewakan.
Sebegitunya, kita tetap masih bisa bertanya secara objektif, masih layakkah dokter Indonesia mengajukan pleidoi, pembelaan dari realita yang mereka hadapi? Atau justru kita sedang menyaksikan abjeksi, pengusiran simbolik profesi ini dari ruang kehormatan publik?
Jangan terdistorsi dulu, bahwa pelanggaran etis dan tindak kriminal pada pasien wajib dikutuk dan dihukum! Namun, melalui argumentasi yang utuh, kita perlu bertanya bahwa jika hanya menyoroti individu dokter sebagai pelaku tunggal, bukankah kita sedang menyederhanakan kompleksitas masalah kesehatan sistemik yang sudah kronis selama puluhan tahun?
Haruskah Pleidoi?
Pleidoi dibutuhkan karena dokter Indonesia hari ini bekerja dalam sistem layanan yang padat birokrasi, terbatas sumber daya, dan timpang dalam distribusi beban kerja. Studi World Bank (2021) menunjukkan bahwa hampir 70 persen dokter di layanan publik mengalami tekanan waktu dan administratif yang signifikan.
Dalam situasi ini, ruang untuk empati dan komunikasi etik sering kali direduksi oleh tuntutan sistem. Meski klise, pleidoi menjadi penting bukan untuk membenarkan kekurangan, tetapi untuk memberi konteks mengapa kesalahan bisa terjadi meski niat profesional tetap hidup.
Pleidoi juga dibutuhkan karena profesi ini telah lama diposisikan sebagai “tameng” dari lemahnya sistem dalam memenuhi hak kesehatan. Di negeri ini, dokter bukan sekadar tenaga kesehatan, tetapi juga simbol dari kewajiban menghadirkan pelayanan bermutu dan merata.
Dengan konstruksi ini, ketika ada kekurangan dalam pelayanan, publik tidak serta-merta menyalahkan sistem, tetapi langsung menyerang dokter. Ini sejalan dengan analisis Foucault tentang biopolitics, bahwa profesi medis sering dijadikan alat negara untuk mengelola tubuh rakyat, tapi tanpa kuasa menolak disfungsi birokrasi dibaliknya. Maka, pleidoi menjadi sahih agar publik menyadari, dokter bagian dari sistem, tapi bukan penguasa sistem. Bahwa dokter juga korban dari tatanan yang tidak memberi ruang martabat kerja.
Secara kerangka restorative justice, profesi dokter membutuhkan pleidoi agar dapat menyatakan: “Kami tidak tanpa salah, tetapi kami juga tidak sendirian dalam kerusakan ini.” Dalam konteks Indonesia kini, hal ini berarti membuka ruang pembicaraan jujur tentang bagaimana etika kerja, distribusi tenaga kesehatan, masa depan pendidikan dokter spesialis, dan perlindungan hukum tenaga kesehatan bisa diperbaiki bersama.
Namun pertanyaan yang jauh lebih besar adalah, nilai logis apa yang bisa dipakai untuk menggaungkan pleidoi ketika dokter melakukan pelecahan seksual kepada pasien, atau ketika sesama kolega saling merundung? Bukankah ini adalah pelanggaran moral tertinggi karena mengeksploitasi kepercayaan yang diberikan secara total?
Apakah Abjeksi?
Konsep abjeksi dari Julia Kristeva relevan disini. Abjeksi adalah proses sosial dimana sesuatu yang dulu dianggap luhur dan penting, seperti profesi dokter, diasingkan dari ruang sosial karena dianggap tidak lagi bersih, suci, dan layak dipercaya. Tapi menurut Kristeva, abjeksi tidak terjadi begitu saja, melainkan dibentuk, dan sistemlah yang pertama kali mengondisikannya.
Ketika merujuk isu kekerasan seksual yang dilakukan dokter kepada pasien, maka menurut Ozar & Sokol (2020), ketika dokter menyalahgunakan posisi ini, ia tidak hanya melukai tubuh pasien, tetapi membunuh esensi profesinya sendiri. Karena sejatinya pasien dan juga keluarganya berada dalam posisi tunduk dan terbuka secara fisik dan emosional.
Demikian pula dalam kasus perundungan antar-kolega di lingkungan medis. Studi Kusumawardhani yang menemukan 40 persen mahasiswa kedokteran mengalami kekerasan verbal dan intimidasi dalam pendidikan klinis, tentunya menciptakan siklus traumatik yang pro-abjeksi, diwariskan dari generasi ke generasi.
Salah satu alasan kenapa narasi abjeksi menjadi relevan adalah karena memang realitanya ada dokter terbukti melecehkan pasien dan membungkam kolega muda dengan menyalahgunakan kekuasaan etikanya. Rentetan kejadian ini sangat tidak bisa diabaikan dengan membangun narasi ‘oknum dokter sebagai pelaku’ saja. Karena nilai kesejawatan dokter harus menjadi kontrol komunal yang jitu dalam mencegah tindakan tidak terpuji ini dikalangan dokter. Jadi ketika pemerintah sebagai regulator mencurahkan energi berlebih untuk memitigasi ini, maka lingkungan dokter harus mendukungnya.
Karena bila tak diusut dan diselesaikan, maka pendidikan profesi dokter secara berkelanjutan akan terkesan melanggengkan kekerasan sebagai bagian dari identitas profesional. Dengan demikian, maka bukan masyarakat yang bakalan mengabjeksi dokter, tetapi merekalah yang memusnahkan kehormatannya sendiri dari dalam.
Pendek kata, pleidoi hanya bisa disusun asalkan profesi ini dan institusi yang menaunginya, lebih dulu berani mengadili dirinya sendiri dan memulihkan kembali makna etisnya. Di titik inilah pleidoi menjadi ironi, karena justru ia meminjam bahasa etika untuk menutupi kejahatan etik itu sendiri.
Namun sesungguhnya, skenario potensial terbesar dari kondisi hari ini bukanlah pleidoi atau abjeksi, namun munculnya momentum untuk menggugat balik kepada pemilik sistem kesehatan negara. Ketika kepercayaan publik terhadap dokter berpotensi runtuh, yang harus kita pertanyakan bukan hanya persepsi masyarakat, tetapi struktur sistem pelayanan yang memproduksi kekecewaan itu.
Ini saatnya seluruh elemen bergerak. Dokter yang jujur mengakui keterbatasannya, masyarakat yang tidak puas tapi peduli, organisasi profesi yang bersuara tegas, dan negara yang harus turun dari menara regulasi untuk mendengar langsung keluhan dari lapangan.
Diskusi publik harus disulut. Karena jika momentum ini tidak kita tangkap, bukan hanya profesi dokter yang menuju abjeksi, tapi sistem kesehatan kita akan menjadi monumen diam dari kegagalan bersama.
Menyimak peristiwa The case of Bawa-Garba di Inggris yang menjadikan isu etis satu dokter sebagai momentum untuk mendeteksi kegagalan sistem, bahwa sorotan atas kasus pelecehan dan perundungan di dunia kedokteran Indonesia saat ini bisa mengidentifikasi celah sistem kesehatan yang belum tertata apik. Mumpung sedang viral kan?
Publik punya peran strategis sebagai mitra pendorong perubahan sistem, bukan hanya menjadi hakim sosial. Masyarakat perlu didorong untuk beranjak dari sekadar menjadi pengkritik di ruang digital, bertransformasi menjadi kekuatan advokasi.
Ketika pasien kecewa terhadap pelayanan dokter, arahkan juga dong kemarahan itu untuk menuntut reformasi regulasi, anggaran kesehatan yang lebih adil, dan distribusi tenaga medis yang lebih merata. Begitupun ketika publik muak dengan pelecehan atau perundungan yang dilakukan dokter, mbokya rasa frustrasi itu diluapkan pula kepada sistem regulasi pendidikan tinggi yang semakin komersil!
Harapan besar pada media massa menjadi absolut, karena merekalah penjaga akal sehat publik agar tidak makin mendorong profesi dokter ke jurang abjeksi. Media wajib menjadi ruang gugatan terhadap sistem, bukan sekadar panggung penghakiman terhadap oknum dokter semata.
Bukan Pilihan Biner
Pleiodi atau abjeksi, keduanya tidak bisa dipilih secara ekstrem. Kita tidak bisa membela dokter secara total, tapi juga tidak bisa menghakimi mereka sebagai satu-satunya biang keladi masalah kesehatan negeri ini.
Pelecehan seksual oleh oknum dokter atau perundungan di ruang pendidikan medis layak diungkap dan ditindak pidana! Namun kita juga harus berdiri di tengah dan berkata bahwa Dokter Indonesia perlu pleidoi yang adil, bukan karena mereka tanpa salah, tapi karena mereka terperangkap dalam sistem yang pastinya belum ideal.
Sekian lama kita telah menciptakan ekspektasi irasional terhadap dokter, mereka harus pintar, sabar, tegas, empatik, penyayang, sekaligus murah, 24 jam tersedia, dan tak pernah salah. Ini bukan ekspektasi terhadap manusia melainkan pengharapan pada figur imortal.
Esensi ekstrimnya adalah, jika kita hanya membela profesi dokter tanpa kritik, kita sedang menutup mata pada luka nyata masyarakat. Namun, jika kita juga hanya diam saat dokter dihakimi massal tanpa pembelaan sistem, kita sedang membiarkan insan penyembuh ini tergerus menjadi tak berarti. Sejujurnya, pleidoi dan abjeksi bukan pilihan biner. Ini adalah cermin yang harus dihadapkan ke seluruh elemen bangsa, pemerintah, profesi, akademisi, media, dan masyarakat.
Apabila para dokter diam dan enggan koreksi diri, maka abjeksi tinggal menunggu waktu. Andaikan sistem tidak berubah, pleidoi pun tak akan cukup menyelamatkan siapa pun. Tetapi jika masyarakat dibiarkan hanya menghakimi tanpa memahami, maka kita semua adalah terdakwa dalam ruang sidang kesehatan bangsa ini.