Di Kampus UMJ Tangsel, Kemenkes Ingatkan Tingginya Ancaman Anemia pada Anak

6 hours ago 3
Di Kampus UMJ Tangsel, Kemenkes Ingatkan Tingginya Ancaman Anemia pada Anak Ilustrasi(Dok UMJ)

ANEMIA Defisiensi Besi (ADB) atau kekurangan zat besi juga menjadi ancaman bagi anak anak Indonesia. Hal ini merujuk Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024 menyebutkan prevalensi anemia pada anak 0-4 tahun sebanyak 23,8 %. Potensi kekurangan zat besi pada anak mulai terjadi pada usia 6 bulan. 

Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan ( Kemenkes) dr. Lovely Daisy, MKM mengungkapkan hal tersebut pada seminar kesehatan yang diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKM UMJ) bersama Majelis Kesehatan Pengurus Pusat ‘Aisyiyah (Makes PPA), di kampus UMJ Cirendeu,Tangsel,Jum’at (16/5)

“Hampir seperempat dari balita kita mengalami anemia,” ungkap dr. Lovely. Tingginya angka ADB pada balita salah satunya terungkap setelah pelaksanaan Program Kesehatan Gratis (PKG) Kemenkes yang baru berjalan di awal tahun ini. Lebih 1000  anak di bawah usia dua tahun ditemukan mengalami ADB . Bahkan, permasalahan ADB menjadi salah satu dari 5 gangguan kesehatan terbesar pada anak selain permasalahan gigi, gizi hingga keterlambatan perkembangan anak.

“Kita temukan 1000 lebih  balita 2 tahun dengan anemia Ini prevalensinya lumayan cukup tinggi ” ungkapnya.

dr. Lovely pun meyakini, dengan terus berjalannya PKG, berbagai gangguan kesehatan yang terjadi pada balita dapat diketahui. Dengan begitu, tindakan intervensi dapat dilakukan lebih cepat.

“Karena ini [PKG] baru, jadi masih sedikit. Nanti setelah ini terus berjalan, mudah-mudahan semua nanti bisa kita lakukan pemeriksaan sehingga intervensinya juga bisa kita antisipasi dengan baik,” ujar dr. Lovely.

Pada kesempatan sama, dokter spesialis anak, Dr.dr. T.B Rachmat Sentika, SpA, MARS, mengingatkan dengan kondisi itu perhatian terhadap pemenuhan zat besi tidak hanya fokus pada remaja putri dan ibu hamil, namun juga pada balita, terutama usia 6 - 24 bulan. Sebab, kekurangan mikronutrien rentan terjadi pada usia tersebut. 

“Upayakan anak itu mengonsumsi pangan yang difortifikasi, makanan-makanan fabrikasi yang memang diperkaya dengan vitamin dan zat gizi mikro,” cetus Rachmat Sentika. 

Sebagaimana diketahui, pangan fortifikasi biasanya ditambahkan vitamin, mineral, dan zat gizi mikro lainnya yang diperlukan untuk banyak fungsi tubuh. Sebab, tubuh tidak dapat membuat mikronutriennya sendiri. Karena itu, mikronutrien harus berasal dari makanan sehat yang dikonsumsi. Diantara pangan yang difortifikasi yang saat ini umum dikonsumsi masyarakat adalah tepung terigu, sereal, roti gandum dan susu. 

Lebih lanjut, ia mengatakan banyak jenis pangan fortifikasi yang mudah di temui di sekitar kita yang seharusnya dapat menjadi sumber pemenuhan gizi anak. “Edukasi tentang makanan-makanan kaya gizi ini sudah ada dalam buku KIA, jadi buku KIA yang dibawa saat ke Posyandu itu bukan hanya untuk mengisi tinggi badan dan berat badan anak, tapi juga ada banyak informasi tentang makanan kaya gizi untuk ibu hamil dan balita,” tukasnya.

Komitmen Bersama

Wakil Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Dra. Chairunnisa, M.Kes. mengaku prihatin dengan tingginya angka risiko ADB pada balita Indonesia. Dia menyebut permasalahan ADB tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus menjadi perhatian bersama.

“Satu dari tiga balita Indonesia itu berisiko untuk mengalami ADB. Fakta ini tentu tidak bisa kita abaikan begitu saja,” tutur Dra. Chairunnisa.

Sebagai organisasi wanita yang  memiliki fokus terhadap isu kesehatan, dia menyebut Aisyiyah dengan jaringannya yang tersebar luas di seluruh Indonesia akan berkomitmen untuk dapat mengatasi ADB.

“Aisyah sebagai organisasi perempuan sebagai penggerak di masyarakat  kita penting sekali  mempunyai kepedulian untuk mengatasi jangan sampai terjadinya ADB ini secara berkelanjutan,” pungkas Chairunnisa.(H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |