Daya Beli Lesu, Masyarakat Mengerem Belanja Jelang Lebaran

3 weeks ago 13
Daya Beli Lesu, Masyarakat Mengerem Belanja Jelang Lebaran Ilustrasi(Freepik)

EKONOM Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan tren ramai-ramai berbelanja menjelang Lebaran 2025 tidak tampak. Hingga pekan ketiga bulan Ramadan, konsumsi rumah tangga dikatakan masih lesu. Kelesuan menjelang hari raya ini dianggap anomali yang menggambarkan ketidakberesan di ekonomi domestik Indonesia.

"Ada sinyal kuat bahwa kelompok rumah tangga menengah ke bawah banyak yang mengerem belanja," ujarnya dalam laporan Core Insight 'Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025', Kamis (27/3).

Yusuf menuturkan gejala anomali konsumsi rumah tangga menjelang Lebaran tertangkap dari tren deflasi pada awal tahun 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencatat deflasi pada Februari 2025, baik secara tahunan yang minus 0,09% dan secara bulanan minus 0,48%. Faktor terbesar penyumbang deflasi juga berasal dari kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, yang dipicu oleh insentif diskon tarif listrik 50% yang diberikan pemerintah untuk rumah tangga kelas menengah sejak dari Januari hingga Februari 2025 lalu.

Namun, lanjut Yusuf, janggalnya deflasi pada februari 2025 tidak hanya terjadi pada kelompok pengeluaran tersebut. Melainkan juga pada kelompok makanan, minuman dan tembakau, dengan andil minus 0,12% secara bulanan. Padahal, menjelang bulan Ramadan pada tahun-tahun sebelumnya, kelompok makanan, minuman dan tembakau selalu menyumbang inflasi, meskipun ada dorongan kenaikan harga. Pada 2024, kelompok pengeluaran ini memberikan andil inflasi secara bulanan sebesar 0,29% pada Februari dan 0,41% pada bulan Maret.

Kelesuan konsumsi rumah tangga juga terlihat dari laporan Bank Indonesia yang mencatat Indeks penjualan riil (IPR) pada Februari 2025 diperkirakan merosot sebesar 0,5% secara tahunan (yoy). Hal ini dipengaruhi jatuhnya penjualan kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang minus 1,7%. IPR sendiri mencerminkan tingkat penjualan eceran di beberapa kota besar di Indonesia, salah satu indikator penting dari sisi produsen yang dapat menggambarkan pergerakan konsumsi rumah tangga.

Dengan mengesampingkan kasus covid-19 pada 2020-2021, Rendy menjelaskan ertumbuhan IPR sebetulnya telah melambat sejak 2017. Sebelum 2017, pertumbuhan IPR dikatakan selalu dobel digit. Tetapi setelah itu pertumbuhan IPR stagnan di bawah 5%.

"Puncaknya adalah anomali pada Ramadan dan Lebaran 2025. Melemahnya pertumbuhan penjualan beberapa ritel menguatkan hasil survei IPR dari BI," jelasnya.

Core mencontohkan pertumbuhan penjualan perusahaan ritel Indomaret melambat signifikan dari 44,7% pada 2022-2023, menjadi hanya 4% pada 2024. Penjualan ritel Alfamart juga tercatat lesu dari 13,9% pada 2022 terpangkas menjadi 10% pada 2024. Pun juga Ramayana, dari 8.1% pada 2022, menjadi hanya 0,1% pada 2024.

Perlambatan juga terjadi pada ritel kelas menengah atas yakni Hypermarket. Pertumbuhan penjualannya tergunting setengah, dari 4,8% pada 2022 menjadi hanya 2,3% pada 2024.

"Matahari bahkan penjualannya terjun bebas minus 2,6% pada 2024," urai Yusuf.

Perlambatan dan kejatuhan penjualan di beberapa gerai ritel tersebut sejalan dengan melemahnya pertumbuhan transaksi belanja menggunakan ATM dan debit serta kartu kredit. Bank Indonesia mencatat, pertumbuhan nilai transaksi belanja menggunakan ATM dan kartu debit pada 2024 terkontraksi sangat dalam yakni minus 4% dibandingkan 2023 yang masih tumbuh 8%.

Sementara itu, pelemahan juga terjadi di transaksi belanja menggunakan kartu kredit, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat menengah atas. Pada 2024, nilai transaksi belanja menggunakan kartu kredit hanya tumbuh 8%, jauh di bawah periode 2023 yang mencatatkan pertumbuhan 26%. (Ins/I-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |