
LUIS Enrique sebagai dikenal sebagai sosok pelatih yang tegas, bahkan keras, baik di lapangan maupun ruang ganti. Namun di balik ketegasan itu, tersimpan sisi lembut terutama soal mendiang putrinya, Xana, yang meninggal dunia pada 2019 kanker tulang langka.
Kemenangan PSG menjuarai Liga Champions UEFA (UCL) usai melumat Inter Milan 5-0 di Allianz Arena, Munich, pada Minggu (1/6) dini hari WIB, turut memunculkan cerita tersendiri.
Putrinya yang tutup usia ketika baru berusia sembilan tahun ternyata merupakan menjadi sumber kekuatan batin terbesar Enrique di momen bersejarah PSG menjuarai Liga Champions untuk pertama kalinya. Ketika perayaan, Enrique memakai kaus menggambarkan dia dan sang putri menancapkan bendera PSG di tengah lapangan.
"Putri saya hidup bersama kami selama sembilan tahun yang luar biasa. Kami punya ribuan kenangan indah bersamanya. Kalau Anda bertanya apakah saya merasa beruntung atau tidak, saya merasa sangat beruntung. Sangat beruntung,” kata Enrique dalam sebuah wawancara menjelang final seperti dikutip The Independent.
Kenangan itu membawanya pada sebuah momen sepuluh tahun lalu saat ia mengantar Barcelona meraih trofi Liga Champions di Berlin. Xana ikut merayakan dengan menancapkan bendera Blaugrana di lapangan. Momen itu terekam dalam sebuah memori yang sangat berarti baginya.
Kali ini ketika mengantarkan PSG juara, suporter Les Parisiens memberi penghormatan dengan membentangkan tifo raksasa bergambar Enrique dan Xana memakai jersey PSG menancapkan bendera di lapangan.
“Saya punya foto luar biasa saat dia menancapkan bendera Barcelona di lapangan,” kata Enrique.
“Saya ingin bisa melakukan hal yang sama dengan bendera PSG. Putri saya mungkin tidak hadir secara fisik, tapi secara spiritual dia akan selalu adadan itu sangat penting bagi saya," tuturnya.
Kini, impian itu tercapai. PSG akhirnya mengangkat trofi yang selama ini hanya menjadi impian Kota Paris. Enrique dengan segala emosinya mengiringi kemenangan tersebut bukan dengan euforia semata tapi dengan sentuhan emosional.
PSG akhirnya juara tanpa skuad bergelimang pemain bintang yang pernah menjadi kiblat klub Paris itu saat membangun tim.
Di balik layar, Enrique menunjukkan dia bisa dihormati para pemainnya. Staf dalam klub bahkan mengatakan dia benar-benar tidak peduli pada politik internal.
Dia juga dinilai tak peduli pada status bintang atau reputasi besar termasuk soal Neymar atau Mbappe yang belum pernah juara Liga Champions sebelumnya.
Dengan keberanian khasnya, Enrique mengubah arah tim. Dia tidak ragu menghadapi bintang mana pun, termasuk saat secara terbuka mengkritik sistem tim yang dulu harus terus bekerja demi Mbappe.
Namun ketika Mbappe akhirnya pergi, atmosfer tim berubah. Semangat kolektif tumbuh dan semua pemain ikut menekan demi merebut bola. Filosofi Enrique, yang berlandaskan kerja sama dan disiplin tinggi bisa berjalan tanpa kompromi. (H-3)