
ADANYA fenomena organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan pemalakan atau pemerasan terhadap pelaku usaha dengan dalih meminta Tunjangan Hari Raya (THR) menjelang Lebaran, merupakan bentuk dari modus premanisme yang terorganisir dan harus ditertibkan.
“Bentuk premanismenya ini premanisme yang terorganisir, jadi ini bukan oknum-oknum orang di dalam ormas tetapi ormas lah yang menjadi oknum. Jelas-jelas mereka mengelompok, preman-preman yang mengorganisir diri, membuat simbol, membuat atribut,” ujar pakar sosial Universitas Indonesia, Rissalwan Handy Lubis kepada Media Indonesia pada Minggu (16/3).
Rissalwan mengatakan premanisme berupa intimidasi ataupun pungli yang dilakukan ormas tertentu sudah menjadi praktik biasa di keseharian. Ia menilai, adanya preman di balik ormas yang mengambil keuntungan disebabkan karena pemerintah yang terkesan tak berdaya, hal tersebut semakin meningkat pada momen-momen tertentu,
“Kemudian mereka memanfaatkan waktu-waktu tertentu untuk menunjukkan arogansi dan dominasi, memaksa pihak-pihak tertentu untuk memberikan manfaat untuk diri dan kelompok mereka, untuk ormas-ormas tadi ini,” jelasnya.
Tanpa solusi yang komprehensif, kata Rissalwan, masalah premanisme ormas akan terus menjadi lingkaran setan yang merugikan iklim sosial dan perekonomian. Menurutnya, palang pintu untuk menghilangkan sifat premanisme yang sudah melekat pada ormas harus dimulai dari mengevaluasi perizinan yang ada.
“Pemerintah harus tegas, bisa mulai dari meninjau perizinannya. Ormas-ormas ini kan perizinannya di Kementerian Dalam Negeri, harus direview dan dievaluasi secara berkala. Apakah fungsi mereka sebagai ormas yaitu untuk mengagregasi kepentingan publik itu terlaksana?” tuturnya.
Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas untuk meniadakan premanisme, hal ini akan berdampak pada terjadinya bentrokan antarormas dan premanisme sehingga merugikan iklim pertumbuhan ekonomi negara.
“Pemalakan-pemalakan atas nama dan momen keagamaan, saya kira ini juga sudah sangat fatal kesalahannya. Jadi kalau negara diam saja ini juga tidak tepat, harus ada pemidanaan pada perilaku orang dan organisasi yang melakukan premanisme pemalakan,” tegasnya.
Ormas dijadikan tameng politik
Terpisah, pakar Sosiologi Universitas Bangka Belitung, Saifuddin menjelaskan bahwa anggota ormas yang didominasi oleh pribumi dan ekonomi lemah menjadikan Ormas sebagai tameng untuk mendapat penghasilan hingga cenderung dijadikan alat politik dan dipelihara oleh para penguasa.
“Ormas terkesan sebagai instrumen politik kelompok tertentu yang kadang dijadikan tameng. Kesan ini menimbulkan sisi negatif yang kemudian cenderung dipersonifikasikan sebagai premanisme dan membuat rasa tidak aman dan nyaman, bukan hanya investor tetapi juga di lingkungan masyarakat,” tukasnya.
Saifuddin menilai ormas seharusnya memiliki cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam rangka menjaga keharmonisan masyarakat sipil, bukan justru menjadi oknum yang meresahkan ketertiban sosial.
Selain itu, pemerintah sebagai pemegang regulasi juga harus mempelajari fungsi, tujuan dan cita-cita ormas yang didirikan, sehingga keberadaannya memberi kontribusi bagi kehidupan berbangsa bukan malah sebaliknya meresahkan. Sehingga mata rantai kekerasan, perilaku premanisme, pemalakan bisa diamputasi.
“Pemerintah harus tegas, regulasi atas eksistensi ormas yang meresahkan itu dengan cara selektif mungkin atas pendirian ormas. Tetapi terkadang, pemerintah dilema, sebab ada ormas yang menjadi kaki tangan negara, di sisi lain negara harus bertindak tegas terhadap perilaku ormas yang meresahkan,” pungkasnya. (Dev/P-3)