
SEORANG aktivis mahasiswa Palestina, yang ditahan oleh petugas imigrasi AS awal bulan ini, buka suara untuk pertama kali tentang penangkapannya.
Dalam surat yang didiktekan melalui telepon kepada keluarganya dari fasilitas penahanan ICE di Louisiana, Mahmoud Khalil mengatakan bahwa ia adalah tahanan politik dan meyakini menjadi sasaran karena, "Menjalankan hak saya untuk berbicara bebas."
Lahir di Suriah, Khalil adalah pemegang kartu hijau dan lulusan baru Universitas Columbia. Ia merupakan tokoh terkemuka selama protes perang Jalur Gaza di kampus tersebut pada musim semi 2024.
Penangkapannya telah dikaitkan dengan janji Presiden Donald Trump untuk menindak tegas demonstran mahasiswa yang ia tuduh melakukan aktivitas yang tidak mencerminkan nilai-nilai Amerika.
Trump berulang kali menuduh bahwa aktivis pro-Palestina, termasuk Khalil, mendukung Hamas, kelompok yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh AS. Ia berpendapat bahwa para pengunjuk rasa ini harus dideportasi dan menyebut penangkapan Khalil sebagai yang pertama dari banyak penangkapan yang akan datang.
Pengacara pria berusia 30 tahun itu berpendapat bahwa Khalil menggunakan hak kebebasan berbicara untuk berdemonstrasi mendukung warga Palestina di Gaza dan menentang dukungan AS terhadap Israel. Ia menyebut pemerintah melakukan penindasan terbuka terhadap aktivisme mahasiswa dan kebebasan berbicara.
Dalam suratnya, yang dirilis Selasa (18/3) , Khalil mengatakan ia yakin ia ditangkap karena ia mendukung Palestina yang bebas.
Ia juga merinci penangkapannya. Saat itu, ia dan istrinya diserang dalam perjalanan pulang dari makan malam oleh agen Departemen Keamanan Dalam Negeri yang menolak memberikan surat perintah.
"Sebelum saya tahu yang terjadi, agen memborgol saya dan memaksa saya masuk ke mobil yang tidak bertanda," katanya. Ia tidak diberi tahu apa pun selama berjam-jam, termasuk alasan penangkapannya.
Khalil mengatakan ia bermalam di 26 Federal Plaza, gedung kantor federal di New York yang mencakup pengadilan imigrasi. Kemudian, ia dipindahkan ke fasilitas penahanan di Elizabeth, New Jersey. Di sini, ia ditolak diberi selimut dan dipaksa tidur di lantai.
Ia dipindahkan lagi ke fasilitas penahanan di Louisiana, tempat ia masih ditahan. Pengacara Khalil telah hadir di pengadilan sejak saat itu untuk memperjuangkan pembebasannya.
Minggu lalu, pengacaranya mendesak agar ia dibawa kembali ke New York dan menuduh pemerintahan Trump berupaya membatasi akses ke klien mereka. Hakim tidak mengeluarkan putusan di persidangan, tetapi mengarahkan jaksa untuk membuktikan alasan kasus tersebut harus dilakukan di tempat lain.
Dalam suratnya, Khalil menyebut penahanannya tidak adil. Hal itu, "Menunjukkan rasisme anti-Palestina yang ditunjukkan oleh pemerintahan Biden dan Trump selama 16 bulan terakhir."
Ia menambahkan bahwa kedua pemerintahan tersebut, "Terus memasok senjata kepada Israel untuk membunuh warga Palestina dan mencegah intervensi internasional." Ia mencatat dimulai kembali serangan udara Israel di Gaza pada Senin malam yang menewaskan 400 orang, menurut otoritas kesehatan yang dikelola Hamas.
Khalil juga mengkritik pimpinan Universitas Columbia karena mendisiplinkan mahasiswa pro-Palestina. Ia mengatakan bahwa tindakan universitas tersebut meletakkan dasar bagi mahasiswa seperti dirinya untuk menjadi sasaran.
Di tengah protes awal tahun lalu, Khalil sempat diskors dari universitas, setelah polisi menyerbu kampus menyusul pendudukan sebuah gedung.
Saat itu, ia mengatakan kepada BBC bahwa saat ia bertindak sebagai negosiator protes utama dengan pejabat Columbia. Ia tidak berpartisipasi langsung dalam perkemahan mahasiswa karena ia khawatir hal itu dapat memengaruhi visa pelajarnya.
Saat itu, ia mengatakan akan terus melakukan protes. Namun baru-baru ini, istri Khalil mengatakan suaminya mulai khawatir tentang deportasi, setelah menghadapi serangan daring yang tidak berdasarkan kenyataan.
Ia mengatakan suaminya mengirim email ke Universitas Columbia untuk meminta bantuan hukum mendesak pada 7 Maret, sehari sebelum petugas imigrasi menangkapnya. Istri Khalil, yang merupakan warga negara AS, kini sedang hamil delapan bulan.
Khalil mengatakan bahwa kisahnya merupakan peringatan bagi orang lain di AS. Kisah tersebut merupakan bagian dari strategi yang lebih luas oleh pemerintahan Trump untuk menekan perbedaan pendapat.
"Pemegang visa, pemegang kartu hijau, dan warga negara semua akan menjadi sasaran karena keyakinan politik mereka," ia memperingatkan. (I-2)