
ASSOCIATE Researcher Center for Indonesian Policy Studies, Krisna Gupta, menilai bahwa kelompok negara berkembang BRICS dinilai masih belum memiliki kekuatan institusional yang cukup untuk menyaingi dominasi ekonomi Amerika Serikat.
Meskipun digadang sebagai tandingan blok Barat, namun hingga kini BRICS belum memiliki perjanjian yang mengikat secara formal antaranggotanya.
“BRICS ini seperti pedang bermata dua. Trump pernah menyindir bahwa kalau negara-negara BRICS ingin lepas dari dominasi dolar, maka mereka akan dikenai tarif,” ujar Krisna di Jakarta pada Rabu (14/5).
Meski telah meluncurkan sejumlah inisiatif seperti pembentukan bank pembangunan dan sistem pembayaran alternatif, Krisna menilai bahwa BRICS belum menunjukkan langkah nyata dalam memperkuat kerja sama yang eksklusif bagi anggotanya.
“Selama ini BRICS lebih terlihat sebagai forum diskusi, belum sebagai blok ekonomi solid yang bisa menyaingi pengaruh AS,” tambahnya.
Salah satu tantangan utama BRICS adalah ketergantungan anggotanya terhadap pasar AS, terutama dalam hal ekspor. Sebagaimana diketahui, Tiongkok yang menjadi negara ekonomi terbesar dalam BRICS yang menyumbang sekitar 60% dari total PDB blok tersebut, masih memiliki surplus perdagangan besar dengan AS. Hal ini juga berlaku untuk sejumlah anggota lain, yang menjadikan AS sebagai pasar utama mereka.
“Kalau mereka berhenti berdagang dengan AS dan hanya saling berdagang di dalam BRICS, siapa yang akan membeli? Hampir semua negara BRICS adalah pengekspor bersih ke AS,” jelasnya.
Ketergantungan ini, sambung dia, membuat BRICS sulit untuk mengambil sikap kolektif dalam menghadapi kebijakan ekonomi AS, terutama ketika pendekatan bilateral lebih menguntungkan secara jangka pendek bagi masing-masing negara. (E-4)