
EKONOM senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mendorong pemerintah Indonesia untuk menunda pengenaan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) sebesar 32%. Kebijakan yang dibuat Presiden AS Donald Trump tersebut dianggap memberatkan Indonesia. Pemerintah pun diminta untuk segera bernegosiasi dengan pemerintah AS sebagai upaya untuk menurunkan tarif bea masuk tersebut.
"Saya kira penting adanya penundaan dan negosiasi tarif secara cepat. Kita menanggung beban yang tinggi dan itu sangat berat sekali," ujarnya dalam diskusi Indef Waspada Genderang Perang Dunia secara daring, Jumat (4/4).
Tauhid mencontohkan jika sebelumya rata-rata bea masuk barang Indonesia ke AS hanya 4,1%, setelah pengenaan tarif impor baru AS melonjak menjadi 36,1%.
Ketidakadilan tarif yang dialami Indonesia, ujar dia, terlihat dari banyak komoditi. Ia menyebut berdasarkan data World Trade Organization (WTO), tarif rata-rata tertimbang (trade-weighted average tariff) yang diterapkan Indonesia pada produk tekstil dan pakaian sebesar 12,7%. Angka ini berbeda dengan AS yang hanya dipatok hanya 1,7%. Kemudian, sambungnya, tarif rata-rata tertimbang untuk produk alas kaki Indonesia tercatat sebesar 13%, sementara AS cuma 5,3%.
"Kalau kita lihat ketidakadilan tarif itu terjadi di banyak komoditi. Apalagi, tarif impor baru ini sampai 32%. Pemerintah harus clear sampaikan bahwa ini tidak adil tarifnya," imbuh ekonom Indef itu.
Ia juga memperingatkan bahwa pengenaan tarif resiprokal oleh AS sudah di depan mata. Oleh karena itu, Tauhid mendorong pemerintah untuk segera memberikan dukungan darurat, terutama bagi industri yang paling terdampak seperti mesin, peralatan, alas kaki, karet, dan komoditas sejenis lainnya.
"Pemerintah harus lakukan dukungan darurat yang untuk industri terdampak," imbuhnya.
Tauhid menyoroti pentingnya penguatan kelembagaan dan koordinasi yang cepat untuk merespons situasi ini. Sebab, belum ada reaksi cepat dari pemerintah Indonesia atas pengenaan tarif impor tinggi dari AS. Sementara itu, pemimpin di negara-negara lain seperti Eropa dan Jepang langsung memberikan tanggapan mulai dari langkah ekstrem dengan pembalasan perdagangan, hingga proses renegosiasi yang lebih terukur dan bisa dikelola
"Kita butuh koordinasi yang kuat di level kementerian koordinator, minimal Menko Perekonomian dan Menko Pangan, karena banyak produk industri dan pertanian yang terdampak tarif AS. Reaksi cepat pemerintah Indonesia sampai saat ini belum kelihatan," pungkasnya. (H-4)