
AMNESTY International merilis laporan tahunan 2024 yang mengungkapkan bahwa praktik otoritarian semakin menjangkiti negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Praktik tersebut menyerang perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam hukum nasional maupun internasional sebagaimana yang dipertontonkan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump, Benyamin Netanyahu di Israel, dan Vladimir Putin di Rusia.
Sementara, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti bahwa menguatnya praktik otoriter di Tanah Air terejawantah lewat serangan terhadap aturan hukum, termasuk aturan pemilu.
Selain itu, pihaknya juga menekankan soal serangan terhadap kebebasan berekspresi, pers, pelanggaran HAM di Papua yang terus berlanjut, pengawasan di luar hukum lewat penyalahgunaan teknologi, diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama, serta proyek pembangunan tanpa partisipasi masyarakat.
"Jika penggunaan praktik-praktik otoriter tidak segera dihentikan, maka kita bisa menuju pada epidemi pelanggaran HAM, sesuatu yang kita tidak inginkan," ujar Usman di Jakarta, Selasa (29/4).
Selama 2024, Amnesty mencatat setidaknya 40 kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh aparat negara. Korbannya, kata Usman, berjumlah 59 orang. Adapun 27 kasus dilakukan oleh anggota Polri dengan total korban 40 orang, 12 kasus dengan 19 korban diduga dilakukan oleh personel TNI, satu satu kasus lainnya dengan satu korban kasus penyiksaan diduga dilakukan oleh sebuah kampus kedinasan pelayaran di Jakarta.
Kekerasan terhadap masyarakat sipil yang melakukan aksi demonstrasi juga tak luput dari catatan Amnesty. Usman mengatakan, pada rangkaian unjuk rasa bertajuk Peringatan Darurat, sebanyak 579 orang menjadi korban kekerasan aparat kepolisian. Angka itu diperoleh di 14 kota pada 22-29 Agustus 2024.
Sementara, pada 2025 siklus kekerasan kembali terulang saat mahasiswa melakukan demonstrasi penolakan pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di berbagai kota pada Maret lalu. Amnesty mencatat, ada 24 kasus kekerasan dengan korban mencapai 221 orang selama 21-27 Maret di tujuh provinsi. (Tri/M-3)
Foto dok/Tri Subarkah