
PAUS Leo XIV meminta gereja Katolik merespons perkembangan kecerdasan artifisial (artificial intelligence, AI) dalam pernyataan perdananya kepada Kolese Kardinal, 10 Mei 2025. Sri Paus mengungkapkan gereja menawarkan kepada setiap orang untuk menjadikan ajaran sosialnya dalam merespons perkembangan AI yang menghadirkan tantangan baru bagi pembelaan martabat manusia, keadilan, dan tenaga kerja.
Sebelumnya, Paus Franciscus, pendahulu Paus Leo XIV, meminta gereja merenungkan AI, keterbatasannya, hubungannya dengan kebenaran, dan etika dalam menggunakannya. Respons gereja Katolik itu kiranya bisa menjadi titik berangkat bagaimana seharusnya agama memperlakukan AI.
NGERI-NGERI SEDAP
Berbicara hubungan agama dan AI pada dasarnya berbicara kaitan agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Hubungan keduanya 'ngeri-ngeri sedap', mengalami pasang surut. Gereja Katolik mendakwa ilmuwan Galileo Galilei berbuat bidah karena mendukung Nicolaus Copernicus yang berteori bumi mengitari matahari atau matahari pusat alam semesta (heliosentris). Gereja berkeyakinan matahari mengelilingi bumi atau bumi pusat alam semesta (geosentris).
Galileo harus menjalani inkuisisi yang digelar gereja Katolik. Pada April 1633, Galileo bersedia mengaku bersalah supaya mendapat hukuman lebih ringan. Galileo dijatuhi hukuman tahanan rumah oleh Paus Urban VIII.
Pada 1992 Paus Johanes Paulus II menyatakan secara terbuka hukuman yang dijatuhkan kepada Galileo hasil ‘pemahaman yang salah’. Pernyataan Paus Johanes Paulus II itu kiranya menjadi simbol rehabilitasi nama Galileo.
Gereja Katolik pada masa-masa berikutnya ‘berdamai’ dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi. Paus Leo XIV menjelaskan namanya merujuk pada Paus Leo XIII yang memimpin gereja Katolik pada awal Revolusi Industri ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat.
Itu menyiratkan gereja merespons secara proaktif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak merespons secara reaktif sebagaimana terjadi pada kasus Galileo.
Sebagaimana Katolik, Islam pada suata masa menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bidah. Setidaknya hingga kini masih berlangsung pembahasan pengeras suara sampai media sosial halal atau haram.
Bahkan masih ada kelompok-kelompok Islam yang enggan menggunakan teknologi modern karena menganggap inovasi dan kreativitas itu sebagai bidah.
Padahal, sejumlah ilmuwan muslim seperti Mohammed al-Khwarizmi, Ibnu Haytam, dan Ibnu Firnas dikenal sebagai penemu teknologi yang dikembangkan ilmuwan seperti diungkap Michael Hamilton Morgan dalam buku Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientist, Thinkers and Artists (2008). Penemuan mereka dikembangkan pada masa-masa berikutnya bahkan hingga kini.
Mohammed al-Khwarizmi, ilmuwan muslim yang hidup di era kekhalifahan Al-Makmun di Bagdad, Irak, pada 832 M, ialah pencipta algoritma yang menjadi otak AI. Teori matematika dan optik Ibnu Haytam, ilmuwan muslim di Irak utara yang hidup di akhir 900-an M, memungkinkan Galileo dan Copernicus memahami hubungan bumi dan benda planet lainnya.
Ibnu Firnas, ilmuwan muslim yang hidup di Cordoba, Spanyol, pada 875, ialah peletak dasar teknologi pesawat terbang. Saat berusia 70 tahun, Ibnu Firnas mengadakan percobaan terbang serupa burung dengan peralatan yang dibuatnya, tetapi tak mulus dalam pendaratan sehingga terluka parah. Kelak percobaan nekat Firmas ditiru penemu lain di Barat hingga menjadi pesawat terbang kini.
Penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg memunculkan polarisasi reaksi di kalangan umat beragama. Di satu sisi, tokoh agama dan umat beragama berpandangan mesin cetak membuat kitab suci bisa dicetak secara massal dan menjadikan dakwah lebih cepat tersebar.
Di sisi lain, pemuka agama khawatir kehilangan kontrol atas tafsir kitab suci. Penolakan adopsi teknologi kiranya terkait dengan kekhawatiran pemuka agama kehilangan kuasa atas umat. Dalam kasus Galileo, agama khawatir kehilangan kontrol atas ilmu pengetahuan.
Hindu dan Buddha kiranya agama yang mengakomodasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi informasi berkembang baik di Tiongkok yang Buddha dan India yang Hindu.
TUHAN TIDAK GAPTEK
Heidi A Campbell melakukan studi kaitan agama Yahudi, Kristen, dan Islam dan media baru. Dalam buku When Religion Meets New Media (2010), Campbell menemukan rentangan respons agama terhadap teknologi digital mulai memanfaatkan bulat-bulat (open embracement), pemanfaatan tentatif (tentative engagement) atau negosiasi (negotiation), hingga penolakan mentah-mentah (direct resistence).
Senada dengan Campbell, studi Beth Singler yang terangkum dalam buku Religion and Artificial Intelligence (2025) mengungkap tiga kategori respons agama terdadap AI, yakni penolakan (rejection), adopsi (adoption), dan adaptasi (adaptation)
Perkembangan teknologi suatu keniscayaan. Pemuka agama tidak mungkin mengajak umat menolak mentah-mentah AI. Akan tetapi, pemuka agama juga tak elok bila mengajak umat mengadopsi bulat-bulat AI.
Pemuka agama semestinya bermain di wilayah negosiasi dalam istilah Campbell atau adaptasi dalam terminologi Singler.
Ajaran agama, moral, etika, ilmu pengetahuan, dan kemanusiaan kiranya menjadi dasar kita beradaptasi atau bernegosiasi dengan AI. Paus Leo XIV dan Paus Franciscus menyerukan negosiasi atau adaptasi berlandaskan ajaran gereja, moral, etika, dan kemanusiaan dalam merespons AI seperti diungkap di awal.
Ketika tokoh agama Kristen di Indonesia menganjurkan kebaktian daring di masa pandemi covid-19 pada 2020, agama bernegosiasi atau beradaptasi dengan AI berlandaskan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Ilmu pengetahuan mengatakan covid-19 menyebar dalam kerumunan. Kebaktian daring bertujuan menyelamatkan manusia. Kata Pendeta Gomar Gultom ketika itu, "Allah kita bukanlah Allah yang gagap teknologi."