10 Tahun Pestarama, PBSI UIN Jakarta Gelar Panggung Istimewa untuk Sastrawan Muslim Mohammad Diponegoro

5 hours ago 3
10 Tahun Pestarama, PBSI UIN Jakarta Gelar Panggung Istimewa untuk Sastrawan Muslim Mohammad Diponegoro 10 Tahun Pestarama, PBSI UIN Jakarta Gelar Panggung Istimewa untuk Sastrawan Muslim Mohammad Diponegoro(Dok. PBSI UIN Jakarta )

PROGRAM Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kembali menghadirkan Pekan Apresiasi Sastra dan Drama (Pestarama). Tahun ini, Pestarama telah menginjak satu dekade dengan mengangkat karya serta pemikiran beberapa sastrawan hebat, yaitu Ajip Rosidi, Emha Ainun Nadjib, dan Mohammad Diponegoro.

Terdapat beberapa rangkaian acara kebudayaan di dalamnya. Mulai dari Lokakarya yang mengupas tentang materi pementasan, Workshop Keaktoran dan Penulisan Puisi, Seminar Nasional dan Tribute, diskusi dengan para pakar sastra, Panggung Ekspresi, Pementasan Teater, Pameran, dan rangkaian menarik lainnya.

Ada yang berbeda dengan Seminar Nasional pada tahun ini. Dalam rangka memperingati satu dekade Pestarama, Seminar Nasional dikemas menarik untuk dibarengi dengan kegiatan memberikan penghargaan pada sastrawan, atau yang dikenal dengan Tribute, yang diberikan untuk Mohammad Diponegoro.

Seminar Nasional dan Tribute untuk Mohammad Diponegoro mengusung tema "Peran Lembaga Kebudayaan Islam dalam Membentuk Sastra dan Drama Bernapas Islam di Indonesia #2". Acara ini berlangsung pada Rabu (14/05/2025) di Ruang Aula Student Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam sambutannya, Dr. Ahmad Bahtiar, M.Hum, selaku Ketua Program Studi PBSI UIN Jakarta, mengatakan bahwa Pestarama ini adalah ajang kegiatan belajar dan praktik yang sudah berjalan selama 10 tahun lamanya.

Perwakilan dari FITK tidak luput untuk menyampaikan apresiasinya. Wakil Dekan 3 FITK UIN Jakarta, Salamah Agung, M.A., Ph.D., turut hadir untuk menyampaikan penghargaan pada konsistensi prodi PBSI dalam mewujudkan Pestarama yang memiliki keterbaruan di setiap tahunnya.

Salamah mengatakan bahwa ia sangat menikmati kegiatan Pestarama karena pada tiap tahunnya selalu memunculkan ide yang menarik. Perempuan yang pernah menimba ilmu di Utrecht University Netherlands itu mengatakan bahwa Pestarama ini bukan hanya menjadi kegiatan yang menyenangkan, tetapi juga tetap ada keilmuan di dalamnya. Tema yang diusung dalam Pestarama menurut Salamah selalu membawa pada terinspirasinya orang lain kepada sosok yang ditampilkan setiap tahunnya.

Apresiasi untuk satu dekade Pestarama datang pula dari Wakil Rektor 3 UIN Jakarta, Prof. Ali Munhanif, M.A., Ph.D. Pria yang pernah menamatkan studi di Temple University Philadelphia itu mengungkapkan apresiasinya untuk prodi PBSI yang berusaha untuk terus menghidupkan warisan budaya Indonesia.

“Apresiasi yang tinggi untuk menghidupkan kembali tentang pentingnya membicarakan warisan-warisan budaya. Mohammad Diponegoro adalah sastrawan yang besar, tetapi kurangnya apresiasi dan perannya yang ditutupi oleh sastrawan-sastrawan yang lainnya," ucap Prof. Ali Munhanif.

Ia juga menambahkan bahwa Mohammad Diponegoro sejatinya menjadi bagian dari perbincangan besar dan sumbangan yang besar dalam kebudayaan Indonesia. Terdapat penampilan menarik sebelum masuk ke dalam inti acara, yaitu penampilan Tari Lenggang Batavia dari Sanggar Binaan Dinas Kebudayaan Jakarta.

Beberapa narasumber yang dihadirkan yaitu Kiai Cepu, Bambang Prihadi, Rahmat Hidayatullah, serta Mahwi Air Tawar. Acara dipandu oleh Rosida Erowati, M.Hum. selaku moderator dan dosen PBSI UIN Jakarta. Dalam gagasannya, Kiai Cepu mengungkapkan bahwa sastra Islam bukan berarti selalu bercerita tentang agama, melainkan nilai kebenaran adalah kepastian yang unggul dalam Islam.

“Saya sangat menolak beberapa sastrawan Islam dimasukkan menjadi sastra Islam, itu mempersempit. Sastra Islam menjadi seakan akan bercerita agama,” ucap Kiai Cepu. 

Pendiri Teater Muslim pada 1961 itu memaparkan pula bahwa sesuatu yang kearab-araban pun bukan berarti Islam. Menurutnya Islam memiliki 5 keunggulan, salah satunya adalah mengandung nilai-nilai kebenaran dan keagungan termasuk sastra Islan. Walaupun tanpa sesuatu atau “embel-embel” kearab-araban.

Dalam penutupnya, tokoh yang menggunakan sastra sebagai jalan dakwah dan pembelaan nilai-nilai Islam itu menegaskan bahwa sastra bersifat independen. Ia mengungkapkan bahwa sastra tidak dihambat tetapi juga tidak didukung, sastrawan-sastrawan tumbuh dengan sendirinya. Baik saat tidak ada dana, maupun ada dana.

Pada acara pemaparan materi yang dilaksanakan dalam forum diskusi kebudayaan ini, Bambang Prihadi menjadi narasumber kedua setelah Kiai Cepu. Moderator acara, Ibu Rosida, memandu jalannya diskusi dengan penuh antusias dan keterbukaan terhadap perspektif narasumber.

Pemaparan kedua disampaikan oleh Bambang Prihadi. Ia memulai karir keseniannya di lingkungan pondok pesantren Assalam, Sukabumi, kemudian melanjutkan keterlibatannya di Teater Syahid dan Teater Kubur. Ia juga dikenal sebagai pendiri Lembaga Teater Kampus (LTC) serta sebagai inisiator Pestarama di PBSI UIN Jakarta tahun 2014.

Dalam gagasannya, Bambang menyatakan bahwa lembaga pendidikan, khususnya pesantren dan IAIN (kini UIN), memberikan ruang besar bagi tumbuhnya kesadaran estetik dan intelektual dalam kesenian. Namun, ia juga menyoroti bahwa secara pengalaman pribadi, keterhubungan langsung antara lembaga keislaman dan kesenian belum terlalu signifikan.

Keislaman dalam seni menurutnya kerap hanya bersifat formalitas, sebagaimana organisasi-organisasi Islam yang secara struktural memang menaungi umat Islam, namun belum tentu memaknai kesenian sebagai bagian dari misi spiritual.

Ia mengkritik kecenderungan untuk menyempitkan makna “sastra Islam” hanya pada karya-karya yang memuat simbol-simbol eksplisit seperti ayat-ayat Al-Qur’an atau kisah tokoh religius. Menurutnya, hal ini justru dapat membatasi ekspresi kreatif yang berakar dari nilai-nilai Islam.

"Perdebatan tentang sastrawan Islam adalah benar, tapi menyempitkan. Jangan anggap berhijab itu simbol Islamik, tapi saat bicara tentang keislaman, itu berbeda lagi." 

Selanjutnya, Pemaparan ketiga yang dipaparkan oleh Rahmat Hidayatullah, dosen dan seniman dengan latar pendidikan S3 Sosiologi Agama dari UIN Jakarta, melanjutkan diskusi dengan menyoroti peran Lembaga Kebudayaan Islam (LKI) dalam sastra bernafaskan Islam.

Menurut Rahmat, istilah sastra bernafas Islam tidak bisa dipahami secara sempit sebagai karya yang hanya menampilkan simbol atau teks suci. Sastra Islam harus dipahami dari nilai-nilai etika, spiritualitas, dan pandangan hidup yang diusung dalam karya. Islam menurutnya hadir sebagai sumber nilai, bukan semata atribut formal.

Ia menggarisbawahi bahwa sebelum Islam hadir, sastra telah eksis sebagai medium ekspresi budaya. Ketika Islam datang, sastra berkembang menjadi sarana dakwah, kemudian menjadi media estetik dan spiritual. Ia menyebut bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam hal ini karena kedalaman tradisi keagamaannya.

Sebagai penutup, pemaparan disampaikan oleh Mahwi Air Tawar yang menjadi tribut untuk tokoh sastra dan seni Islam, Muhammad Diponegoro. Ia mengangkat sisi yang jarang dibicarakan dari tokoh ini yakni peran beliau sebagai sastrawan dan penggerak seni teater Islam di Yogyakarta.

Muhammad Diponegoro, menurut Mahwi, bukan hanya sosok religius dan aktivis, namun juga penulis yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap bahasa dan estetika. Ia menulis puitisasi Al-Qur’an jauh sebelum H.B. Jassin melakukan hal serupa. Ia juga mengembangkan Teater Muslim yang lahir dari keresahan atas dominasi estetika teater kontemporer Jakarta seperti Bengkel Teater dan Rendra.

“Muhammad Diponegoro tidak hanya mengajari anak-anak menulis, tetapi juga mendorong lahirnya teater sekolah di Muhammadiyah. Ia adalah penyair dan penggerak yang pantas
untuk terus ditulis dan dikaji.” 

Mahwi juga menekankan bahwa sejarah sastra Islam tidak seharusnya melulu berpusat di Jakarta. Banyak daerah memiliki tokoh dan jejak yang tak kalah penting, dan itu perlu digali dan dirayakan lebih luas. Seminar Nasional ini menjadi pembuka rangkaian kegiatan Pestarama #10, yang menandai satu dekade perjalanan acara tahunan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Selama sepuluh tahun, Pestarama telah menjadi wadah penting bagi mahasiswa untuk berekspresi, berkreasi, dan mengapresiasi karya seni dalam berbagai bentuk. Dengan semangat kolaborasi, inovasi, dan kecintaan terhadap dunia sastra dan seni, diharapkan seluruh rangkaian kegiatan Pestarama #10 dapat berjalan lancar serta memberikan dampak positif bagi pengembangan pendidikan, kesenian, dan kebudayaan di Indonesia. (RO/P-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |