
BARU tahun lalu resmi dihapus, sistem penjurusan di tingkat SMA kini disebutkan akan dihidupkan kembali oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Rencana ini dinilai menunjukkan kebijakan yang maju mundur.
Demikian dikatakan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim. Ia juga mengkhawatirkan para siswa, khususnya yang saat ini duduk di kelas SMA, akan merasa menjadi kelinci percobaan
“Hal yang sebenarnya menjadi kekhawatiran mereka seperti yang sudah disampaikan oleh Pak Menteri, terkait dengan wacana tentang tes kemampuan akademik (TKA) yang akan mulai digelar pada September (2025) nanti sebagai bagian dari ujian masuk perguruan tinggi negeri jalur prestasi gitu. Nah bagi P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru), kami tidak setuju kalau TKA itu dijadikan sebagai pengganti jalur prestasi,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Sabtu (12/4).
Lebih lanjut, dia mengakui bahwa sebetulnya tidak banyak hambatan implementasi untuk menghidupkan kembali penjurusan di SMA. Namun demikian, P2G melihat rencana tersebut adalah bentuk diskontinuitas dalam implementasi kebijakan pendidikan nasional.
“Jadi memang ada kesannya kebijakan pendidikan di Indonesia itu maju-mundur. Persoalannya masih hal yang sama tetapi pemegang kebijakannya itu membuat keputusan kebijakan yang maju-mundur, ganti nama padahal secara substansi masih sama atau ganti program padahal secara esensi juga masih sama dengan yang sebelumnya,” tegas Satriwan.
Harus Mengacu ke Peta Jalan Pendidikan
Dia merasa bahwa pemerintah seharusnya mengacu kepada Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025 - 2045 yang sudah didesain di akhir jabatan Presiden Jokowi. “Sehingga kebijakan-kebijakan terkait dengan pendidikan dan guru itu harusnya mengacu kepada peta jalan pendidikan nasional yang. Nah ini penting juga rencana pembangunan jangka menengah nasional agar tidak liar, agar tidak reaksioner atau kemana-mana. Sehingga harapannya ada kontinuitas,” tuturnya.
Jika kebijakan pendidikan berubah 5 tahun sekali sesuai selera pimpinan, tambahnya, perubahan yang seolah biner atau asimetris itu justru akan menghambat upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menuju Indonesia Emas 2045. “Karena tiap 5 tahun mulai dari 0 lagi, tak ada keberlanjutan. Lebih menyedihkannya anak Indonesia akan selalu menjadi kelinci percobaan kebijakan pendidikan nasional,” ulangnya.
Di sisi lain, ia menyoroti belum tersentuhnya persoalan fundamental pendidikan dan guru di Indonesia. Kondisi itu tergambar dari skor Programme for International Student Assessment (PISA) siswa-siswa Indonesia yang pada 2022 menurun di semua bidang, menempatkan Indonesia di peringkat ke-66 dari 81 negara.
“Ini akhirnya lebih melebar lagi persoalan kualitas, perolehan PISA kita, kemampuan anak dalam bidang sains, kemudian literasi, numerasi yang masih di bawah negara OECD, kemudian kualitas pendidikan kita yang masih rendah, rata-rata lama sekolah kita yang masih rendah, angka partisipasi sekolah kita yang masih rendah. Kemudian sekolah-sekolah kita yang rata-rata masih banyak yang mengalami kerusakan,” beber Satriwan. (M-1)