Stimulus Pemerintah mulai Juni 2025 Dinilai Lemah dan Salah Sasaran

1 day ago 7
Stimulus Pemerintah mulai Juni 2025 Dinilai Lemah dan Salah Sasaran Stimulus pemerintah dalam rangka mendorong daya beli masyarakat(MI)

DALAM rangka menjaga stabilitas ekonomi nasional dan daya beli masyarakat pasca pandemi serta menjelang pertengahan tahun 2025, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan sejumlah kebijakan stimulus ekonomi.

Beberapa bentuk stimulus tersebut meliputi Bantuan Subsidi Upah (BSU) dan diskon tarif listrik untuk rumah tangga, yang dimaksudkan untuk membantu kelompok masyarakat rentan menghadapi tekanan ekonomi yang masih berlangsung.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan stimulus pemerintah yang dinilai minim dan tidak menyentuh kelompok yang benar-benar membutuhkan.

Bhima menyoroti besaran Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang dikucurkan pada Juni–Juli 2025 hanya sebesar Rp150.000 per bulan—jauh lebih kecil dibanding masa pandemi covid-19 yang mencapai Rp600.000 per bulan.

“Stimulus pemerintah yang baru dikeluarkan, seperti BSU, ini angkanya terlalu kecil,” ujar Bhima dalam sebuah webinar, Rabu (28/5).

Tak hanya soal nominal, Bhima juga mengkritik distribusi bantuan yang dinilai diskriminatif. BSU hanya menyasar pekerja formal yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Sementara itu, pekerja informal dan tenaga outsourcing—yang jumlahnya sangat besar—nyaris tak tersentuh.

“Pemerintah seolah menutup mata untuk mencari data pekerja informal itu,” tegasnya.

Ia menilai, di satu sisi pemerintah tampak ‘murah hati’ dengan menyalurkan stimulus untuk mendongkrak daya beli pasca Lebaran, namun di sisi lain, banyak pekerja justru tersisih karena tidak tercatat dalam sistem bantuan.

Bhima juga mengkritik kebijakan diskon tarif listrik 50% selama dua bulan untuk pelanggan 1.300 VA, yang diklaim menjangkau 79,3 juta rumah tangga. Ia mempertanyakan validitas data tersebut, mengingat jumlah rumah tangga miskin menurut BPS jauh lebih kecil.

Kelompok seperti penghuni kos atau kontrakan dengan daya listrik lebih tinggi pun otomatis terdiskualifikasi, padahal mereka tetap menanggung beban biaya.

“Penggunaan batas daya listrik sebagai satu-satunya kriteria penerima berisiko menciptakan bias dan mengecualikan banyak yang seharusnya berhak menerima bantuan,” kata Bhima.

Ia menutup dengan menegaskan bahwa stimulus yang digulirkan tidak hanya terlalu kecil, tetapi juga berbasis data yang tidak akurat. (Z-10)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |