
INDONESIA menghadapi tantangan besar dalam pengendalian konsumsi rokok. Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Benget Saragih menekankan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia, dengan 70,2 juta perokok dewasa. Salah satu hal yang saat ini tengah diupayakan dalam hal pengendalian rokok ialah pada standardisasi kemasan rokok.
Benget mengakui, Indonesia masih tertinggal dalam regulasi kemasan rokok dibandingkan dengan negara-negara lain. Saat ini, peringatan kesehatan pada kemasan rokok di Indonesia hanya 40%, sementara di beberapa negara lain, seperti Australia, sudah mencapai 75-90%.
"Di berbagai negara seperti Singapura, mereka sudah seperti ini desainnya. Kita baru 50% peringatan kesehatannya. Kalau mereka sudah 70-80%," kata Benget dalam acara media briefing di Jakarta, Kamis (20/2).
Berdasarkan studi yang dilakukan di berbagai negara, kemasan rokok dapat memengaruhi daya tarik dan persepsi risiko. Misalnya saja pada penelitian di US, dikatakan bahwa warna lebih muda dan deskripsi dengan embel-embel kata light atau smooth dapat memberikan persepsi risiko yang lebih rendah.
Selain itu, studi yang dilakukan di UK menyatakan bahwa kemasan dengan ciri silver, smooth dan gold akan dinilai memiliki kandungan tar yang lebih rendah dan risiko yang lebih kecil. Dengan kemasan yang menarik juga akan membuat remaja tertarik untuk mencoba merokok.
Benget menyatakan bahwa beberapa negara, termasuk Singapura, Myanmar, Thailand, dan Vietnam, telah menerapkan kemasan rokok standar tanpa desain menarik. Kebijakan ini terbukti efektif dalam menurunkan angka perokok baru. "Di Australia menurun. Banyak negara menurunkan," ujar Benget.
Salah satu argumen yang sering muncul adalah bahwa Indonesia merupakan negara produsen tembakau, sehingga penerapan regulasi ketat dapat merugikan industri rokok.
Namun, Benget menepis anggapan ini dengan mencontohkan India, yang meskipun merupakan negara produsen, telah berhasil menerapkan peringatan kesehatan besar di kemasan rokok. "Harusnya boleh diproduksi di Indonesia, tapi di ekspor. Jangan ditaruh di Indonesia untuk dikonsumsi," tegasnya.
Dalam hal ini, pemerintah telah mengamanatkan dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bahwa kemasan rokok harus memenuhi standar tertentu untuk menekan daya tarik bagi anak-anak dan remaja. Regulasi ini mencakup desain, warna, serta peringatan kesehatan yang lebih besar.
"Anak-anak belum bisa secara independen membuat keputusan yang baik atau buruk bagi hidup mereka. Pasti mencontoh, melihat. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perlindungan dengan membentuk kebijakan," ujar Benget.
Dengan regulasi ini, pemerintah berharap dapat menurunkan angka perokok baru serta mengurangi dampak kesehatan akibat rokok. Saat ini sendiri aturan mengenai standardisasi kemasan rokok masih dalam tahap public hearing dengan stakeholder terkait.
"Tujuan penerapan standarisasi kemasan ini adalah mengurangi daya tarik produk, meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan, dan menurunkan angka perokok baru," pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Rukki Foundation Mohammad Ainul Maruf menyatakan, standardisasi kemasan pada rokok meliputi penghapusan elemen branding seperti logo, warna dan desain khas, selain itu mewajibkan peringatan yang lebih besar dan mencolok, menggunakan warna dan desain yang seragam untuk mengurangi daya tarik produk.
Ainul menegaskan bahwa standardisasi kemasan itu tidak akan membuat kemasan rokok menjadi warna putih dan polos tanpa informasi apapun. Informasi mengenai merek, nama produk, dan jumlah batang rokok dalam kemasan rokok terstandar tetap ada, sehingga tidak akan mengganggu pengawasan cukai.
"Tujuan dari kemasan standar adalah untuk mengurangi ketertarikan dari produk tembakau bagi anak dan remaja, sehingga dapat menekan jumlah perokok anak," jelas Ainul.
Aktivis Pengendalian Tembakau Lily Sulistyowati menyatakan, dari berbagai studi, kemasan polos memiliki dampak positif terhadap penurunan jumlah perokok dengan cara mengurangi daya tarik produk tembakau, meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan, menurunkan mispersepsi bahwa beberapa merk lebih aman daripada yang lain serta meningkatkan motivasi untuk berhenti merokok.
"Dengan demikian akan menciptakan manfaat kesehatan masyarakat. Menurunkan angka penyakit terkait rokok yakni kanker, paru, jantung, stroke dan penyakit paru obstruktif kronis," jelas Lily.
Selain itu dapat mengurangi beban biaya negara akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan lingkungan yang lebih sehat dan bebas asap rokok serta melindungi generasi muda dari dampak adiksi nikotin sejak dini. (H-3)