
DPR RI dan pemerintah dinilai harus memperketat pengawasan penugasan prajurit dalam revisi Undang-Undang TNI yang saat ini sedang berjalan. Menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, revisi UU TNI perlu menegaskan batasan penugasan para prajurit aktif, termasuk memperjelas bahwa penugasan bersifat terbatas, ad hoc, dan hanya diisi pada bidang yang beririsan langsung dengan sektor pertahanan dan keamanan.
Guna merespon dinamika kabinet pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ia juga mengusulkan penambahan klausul kementerian/lembaga yang sebelumnya sudah diakomodir lewat Pasal 47 UU TNI. Fahmi berpendapat, hal itu penting dilakukan untuk menghindari interpretasi yang terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan di masa mendatang.
"Mekanisme pengawasan terhadap penugasan prajurit aktif di ranah sipil harus diperketat. DPR, Komisi I, serta Kementerian Pertahanan dan TNI harus memiliki mekanisme evaluasi berkala terhadap efektivitas dan dampak dari kebijakan ini," ujarnya kepada Media Indonesia, Sabtu (22/2).
Pengawasan ketat yang dimaksudnya perlu terejawantah lewat serangkaian aturan terkait penempatan prajurit aktif. Misalnya, kriteria yang jelas ihwal jabatan mana saja yang dapat diisi, mekanisme kontrol dan evaluasi berkala, serta batas waktu yang ketat. Hal tersebut diperlukan untuk mengantisipasi tidak terjadinya penugasan yang berlarut-larut atau bahkan menjadi penugasan institusi sipil oleh unsur militer.
"Jika pengawasan tidak ketat, ada risiko bahwa kebijakan ini justru menjadi 'jalan masuk' bagi keterlibatan militer di sektor-sektor sipil yang oleh sebagian masyarakat dikhawatirkan sebagai bentuk baru dari dwifungsi," terang Fahmi.
Lebih lanjut, ia juga meminta pembentuk undang-undang untuk memastikan TNI tetap berjarak dari politik dan bisnis. Pasalnya, salah satu kekhawatiran terbesar dari masyarakat sipil saat ini menyangkut kemungkinan revisi UU TNI menjadi langkah mundur bagi reformasi militer.
Oleh karena itu, Fahmi mengingatkan peran TNI dalam politik harus tetap 0%. Dengan demikian, prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil harus benar-benar dilarang terlibat dalam politik praktis, baik dalam bentuk pernyataan, dukungan, maupun keterlibatan langsung dalam kebijakan-kebijakan yang bersifat politis.
Selain itu, DPR dan pemerintah juga diminta untuk terus mendengarkan aspirasi masyarakat, menjaga transparansi, dan akuntabilitas dalam pembahasan revisi UU TNI. Fahmi menjelaskan, keterbukaan dalam proses legislasi sangat penting agar ada diskursus publik yang sehat.
Terpisah, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Hariyanto mengatakan pihaknya menghormati dan mendukung setiap proses legislasi yang bertujuan memperkuat institusi pertahanan negara. TNI, sambungnya, akan terus mengikuti dan memberikan masukan sesuai kebutuhan organisasi terkait substansi revisi UU tersebut.
Terkait sejumlah isu yang mengemuka dalam revisi UU TNI seperti perubahan masa pensiun, penempatan prajurit di jabatan sipil, serta aspek lainnya, Hariyanto menegaskan pihaknya akan memastikan agar hal tersebut tetap sejalan dengan tugas pokok TNI, yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
"TNI juga memastikan bahwa revisi ini tetap berlandaskan pada prinsip profesionalisme dan netralitas, sesuai dengan amanat reformasi TNI," jelasnya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mencatat, setidaknya terdapat 2.569 prajurit TNI aktif pada jabatan sipil sepanjang 2023. Dari angka tersebut, 29 di antaranya merupakan perwira aktif yang menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang sudah ditetapkan oleh UU TNI. Saat ini, penempatan prajurit aktif pada jabatan sipil yang dinilai Koalisi tidak sah antara lain Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet dan Mayjen Novi Helmy sebagai Direktur Utama Perum Bulog. (Tri/M-3)