Puluhan Musisi Gugat UU Hak Cipta di MK, Persoalkan Hak Royalti

6 hours ago 4
Puluhan Musisi Gugat UU Hak Cipta di MK, Persoalkan Hak Royalti Ketua MK Suhartoyo memimpin sidang.(Dok.MI)

PULUHAN musisi melakukan gugatan materiel Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diajukan oleh 29 musisi ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (24/4). Aturan yang digugat yakni mengenai royalti yang dianggap belum memberikan kepastian hukum. Hal itu disampaikan Kuasa hukum Pemohon, Panji Prasetyo.

“Pada intinya ingin mempertanyakan dan meminta kejelasan dan juga meminta Mahkamah Konstitusi uji materi dan memberikan penafsiran yang lebih luas apakah pelaku pertunjukan wajib meminta izin secara langsung kepada pencipta lagu untuk menampilkan ciptaan lagu suatu pertunjukan,” ujarnya di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (24/4).  

Para Pemohon menjelaskan, seperti penggunaan hak-hak ekonomi lainnya oleh orang lain dengan seizin pencipta, untuk pertunjukan (performing rights), pencipta tetap berhak untuk mendapatkan imbalan berupa royalti. 

“Meskipun penggunaan hak ekonomi pertunjukan tersebut dapat dilakukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta,” ujat Panji. 

Royalti tersebut, lanjut Panji, harus dibayarkan oleh pengguna melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).   Selain itu, para pemohon menyoroti pasal Pasal 87 UU Hak Cipta yang mengatur mengenai mekanisme tersebut yakni pencipta hanya dapat memperoleh hak ekonominya dan menarik imbalan dari pengguna, yang memanfaatkan hak cipta dalam bentuk layanan publik bersifat komersial. 

Menurut pemohon, pemungutan royalti atas performing rights sudah menjadi kebiasaan umum. Penyelenggara acara pertunjukan (event organizer) bertanggung jawab sebagai pengguna untuk membayar royalti atas pertunjukan di tempat hiburan, konser, radio, stasiun televisi, restoran, dan/atau kafe.

“Konsekuensi dari keanggotaan dalam LMK adalah beralihnya wewenang pengelolaan hak ekonomi kepada LMK yang melekat pada lembaga tersebut. Karena itu, dalam setiap tindakan hukum terkait pengelolaan, maupun penegakan hak ekonomi atas karya cipta, pencipta sudah memberikan izin digunakan ciptaannya dalam suatu pertunjukan (performing) pada saat pencipta tersebut menjadi seorang anggota LMK,” tukasnya. 

Pemohon juga menyampaikan bahwa sistem blanket license yang diterapkan di Indonesia sangat masuk akal untuk memaksimalkan nilai ekonomi. Menurutnya, tidak mungkin bagi pencipta untuk mengawasi semua pertunjukan musik yang diadakan di Indonesia. Terlebih lagi untuk menagih royalti satu persatu.

“Dengan diterapkannya sistem blanket license tersebut, tata kelola penghimpunan dan pendistribusian royalti dapat dilaksanakan secara berkeadilan dan berkepastian hukum,” imbuhnya. 

Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tidak memerlukan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan kewajiban untuk tetap membayar royalti atas penggunaan secara komersial ciptaan tersebut.

Pemohon juga meminta Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta konstitusional sepanjang frasa “Setiap Orang” dimaknai sebagai “Orang atau badan hukum sebagai Penyelenggara Acara Pertunjukan” kecuali apabila diperjanjikan berbeda oleh pihak terkait mengenai ketentuan pembayaran royalti, dan sepanjang dimaknai bahwa pembayaran royalti dapat dilakukan sebelum dan sesudah penggunaan komersial suatu ciptaan dalam suatu pertunjukan. 

Selain itu, petitum juga memuat gugatan agar Pasal 81 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai untuk Penggunaan Secara Komersial dalam suatu Pertunjukan tidak diperlukan lisensi dari Pencipta dengan kewajiban untuk membayar royalti untuk Pencipta melalui LMK. (H-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |