
INDONESIA merupakan negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia. Perkembangan jumlah koperasi dan anggota koperasi dari 2013 hingga 2018 mengalami peningkatan signifikan. Namun hal tersebut belum mampu menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional karena sumbangsih koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sebesar 5,1%. Pertumbuhan kuantitas koperasi di Indonesia tidak disertai dengan pertumbuhan kualitas yang baik sehingga banyak koperasi pasif.
"Dibandingkan negara-negara lain seperti Denmark, Jepang, dan Amerika, Kenya saja 50% PDB mereka dari koperasi. Indonesia masih sangat lambat kemajuannya, hanya menang dari segi jumlah," jelas Dr Dewi Tenty Septi Artiany selaku pengamat koperasi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Ruang Baleg DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (20/2).
Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju dan menjadi koperasi benar-benar soko guru perekonomian, Dewi Tenty mempertanyakan revisi RUU Perkoperasian di Indonesia yang dilakukan tanpa arah, karena blue print UU pun tidak ada. Tujuan dan targetnya tidak jelas, sehingga ketika menyusun UU selalu dibatalkan. "Harus ada komitmen kuat dari pemimpin, dalam hal ini Presiden, untuk memberikan yang terbaik dalam menyusun perekonomian kerakyatan," jelasnya. Dengan komitmen tersebut, UU Perkoperasian akan jelas targetnya dalam membangun koperasi di Indonesia.
Saat ini ia melihat sumbangan terhadap PDB yang 5% sebagian didominasi oleh koperasi simpan pinjam (KSP). Padahal seharusnya usaha koperasi yang berkembang berbasis koperasi produksi dan koperasi konsumen. "Kalau Bung Hatta masih ada, mungkin menangis. ketika beliau menggagas koperasi karena melihat Indonesia memiliki dua sumber daya alam dan sumber daya manusia yang luar biasa," tuturnya.
Harusnya koperasi yang subur tumbuh di Indonesia ialah koperasi konsumsi produksi. Ini sejalan dengan program makan siang gratis yang seharusnya melibatkan koperasi konsumsi dan produksi yang mendukung program tersebut.
Parahnya lagi, di Indonesia koperasi dipandang sebagai lembaga charity, seperti koperasi karyawan yang ada, hanya menjadi pelengkap untuk menyediakan konsumsi, bukan sebagai koperasi yang memiliki usaha besar. "Kalau di Korea, koperasinya membuat suku cadang dari mobil tersebut, bukan sekadar menjadi pelengkap," tambahnya. Karena itu, diperlukan rebranding koperasi untuk menarik masyarakat menabung dan belanja di koperasi. Saat ini yang terjadi koperasi sebagai tempat meminjam uang, tetapi ketika berbelanja di mal, kafe, dan sebagainya.
Terkait dengan UU Perkoperasian, Dewi Tenty memberikan masukan terkait prinsip-prinsip koperasi, salah satunya mandiri. Ini sering diterjemahkan bahwa koperasi memiliki otonomi yang tidak boleh diintervensi oleh peraturan lain. "Padahal koperasi adalah badan hukum yang harus taat kepada peraturan," ujarnya.
Kemudian soal permodalan, kalau kita mau meningkatkan minat masyarakat berkoperasi. Ini karena setelah UU Cipta Kerja terjadi perubahan dalam struktur permodalan. "Selain itu, harus dibuka sekat antara simpanan pokok dan simpanan wajib, karena itu yang bisa membuat koperasi hidup bukan hanya dari simpanan pokok dan simpanan wajib, seperti koperasi multipihak, yakni suatu kelompok memberikan modal untuk koperasi, tinggal diatur yang benar," jelasnya.
Masalah yang juga penting ialah sanksi pidana, jika memang terjadi penipuan seperti yang dilakukan oleh delapan koperasi yang merugikan hingga ratusan triliun. "Sanksi pidana ini diperlukan, jika memang terjadi penipuan dan penggelapan. Hal ini juga untuk melindungi anggota koperasi tersebut," ujarnya. Apalagi koperasi mengelola uang anggota yang nilainya sampai triliunan rupiah. (I-2)