
Menteri Agama Nasaruddin Umar menilai Paus Fransiskus sebagai sosok pemimpin pelayan sejati yang dapat menjadi inspirasi lintas agama dalam membangun kemanusiaan dan kedamaian.
"Kepemimpinan Paus Fransiskus itu menurut saya merupakan the real servant leadership. Beliau sangat inspiratif, dan saya kira tidak hanya untuk dunia Katolik, tapi untuk dunia agama-agama. Itu yang saya sebut kepemimpinan pelayan yang sesungguhnya,kata Nasaruddin Dialog Antaragama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (28/5).
Nasaruddin menceritakan pertemuan emosionalnya dengan Paus Fransiskus yang menunjukkan nilai kemanusiaan universal tanpa sekat. Momen itu menjadi bukti bahwa hubungan antaragama bisa dilandasi cinta dan penghormatan yang mendalam.
"Orang yang baik itu tidak pernah mati. Secara biologis memang sudah wafat, tapi secara spiritual dia tetap hidup di dalam diri kita, dalam jiwa kita, dalam pikiran kita. Itu yang saya rasakan dari sosok Paus Fransiskus," ujarnya.
Paus Fransiskus, lanjut Nasaruddin, juga mengajarkan pentingnya membangun jembatan antarumat beragama, bukan tembok pemisah. Prinsip inilah yang mendasari pembangunan terowongan penghubung Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta.
“Paus berkata, jangan membangun tembok karena tembok itu simbol tidak manusiawi, dan di Istiqlal kita membangun terowongan, kebalikan dari tembok,” tuturnya.
Ia mengingatkan agar pendidikan agama tidak menjadi sumber kebencian, melainkan sarana menanamkan cinta kasih.
"Jangan sampai ada guru agama mengajarkan kebencian terhadap anak-anak. Itu sangat bahaya. Sejak dini diperkenalkan perbedaan Katolik, Islam, Buddha. Jangan indoktrinasi anak-anak kita dengan sebuah perbedaan," ungkap Imam Besar Istiqlal itu.
Sebagai langkah konkret, Kementerian Agama telah menggagas kurikulum cinta dan pendekatan teologi yang lebih lembut. Menag menyebut perlunya transformasi teologi yang terlalu maskulin menjadi lebih feminin, sesuai dengan sifat kasih Tuhan yang dominan dalam ajaran agama.
“Sistem teologi yang kita pakai selama ini terlalu maskulin, terlalu sadur, terlalu normatif. Maka kita bisa mengubah sistem teologi kita lebih feminin. Karena Tuhan kita itu kan lebih menonjol sebagai feminine God daripada masculine God,” pungkasnya. (H-1)