
REVISI Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah bergulir di DPR diharapkan dapat mengutamakan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan membagi kewenangan penegak hukum dengan jelas.
“Upaya perlindungan HAM harus menjadi fokus utama dalam revisi KUHAP yang baru. Indonesia membutuhkan hukum yang mengatur batasan agar upaya penegakan hukum tidak menyimpangi HAM,” kata Pakar Hukum Universitas Airlangga (Unair), Riza Alifianto Kurniawan dalam keterangan yang diterima Media Indonesia pada Minggu (27/4).
Riza menekankan Pasal 124 hingga 128 RUU KUHAP yang mengatur tentang penyadapan menjadi krusial karena berkaitan dengan penegakan HAM terutama terkait perlindungan privasi.
“Misalnya, terkait hak privasi dalam upaya penyadapan paksa. Perlu adanya hukum yang mengatur batasan negara agar memberikan perlindungan terhadap HAM,” imbuhnya.
Selain itu, Riza mengatakan bahwa revisi KUHAP yang ditargetkan berlaku pada 2026 harus memiliki koherensi dengan UU KUHP yang baru. Menurutnya, KUHAP memang membutuhkan penyegaran.
“KUHAP yang ada saat ini sudah berlaku sejak tahun 1981. Banyak aturan yang perlu direvisi dan konsep-konsep yang perlu dibenahi seperti terkait alat bukti elektronik. Di KUHAP yang lama tidak ada dan itu menunjukkan bahwa KUHAP tidak up to date dan tidak bisa beradaptasi dengan zaman,” kata Riza.
Sebelumnya, mekanisme check and balance antar lembaga penegak hukum memang sudah menjadi isu. Oleh karena itu, Riza menyoroti pentingnya pembagian kewenangan penegakan hukum yang jelas, mulai dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
“Menurut saya, harus ada pembagian kewenangan yang habis. Dalam arti, siapa yang diberikan kewenangan penyidikan, penuntutan, dan peradilan itu harus tegas dan jelas, sehingga check and balance bisa dilakukan oleh institusi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Riza juga menyebut bahwa partisipasi masyarakat penting untuk penyempurnaan revisi KUHAP saat ini. Dikatakan bahwa DPR harus terbuka dengan berbagai saran dari berbagai stakeholders agar KUHAP baru dapat mengakomodasi seluruh kepentingan.
Riza menilai, dengan adanya partisipasi publik serta masukan dari masyarakat, dapat mencegah kekosongan hukum dan multitafsir dalam pelaksanaannya.
“Hal ini dapat menjadikan hukum tidak dapat dijalankan, inkonstitusional, dan tidak sesuai aturan. Maka, draft itu kalau dapat dipahami dan menjangkau semua pendapat, pada saat pelaksanaannya akan dimudahkan,” pungkasnya. (Dev/P-3)