
PABLO Putra Benua dan istrinya merespons pelaporan yang dibuat oleh Badan Pimpinan Pusat (BPP) Perkumpulan Advocaten Indonesia (PAI) ke Bareskrim Polri terkait kasus dugaan pemalsuan akta autentik kepengurusan. Pablo menjelaskan alasan struktur organisasi BPP PAI itu diubah.
Pablo menjelaskan, dirinya sempat ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal PAI, namun berjalannya waktu timbul dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Ketua Umum PAI sebelumnya, yakni Junaidi atau Sultan Junaidi, yang diduga kerap memeras anggotanya dengan modus meminta-minta uang dengan nominal yang beragam dan dengan dalih yang beragam.
"Banyak pengaduan dari anggota yang bermunculan, saudara Junaidi diduga kerap meminta-minta uang kepada para anggota, mulai dari uang Rp500 ribuan, mulai dari uang sejutaan, hingga puluhan juta," kata Pablo kepada wartawan, Selasa (22/7).
Pablo mengatakan demi menyelamatkan nama PAI, dirinya menggelontorkan dana pribadi hingga Rp500 juta, termasuk membelikan mobil mewah. Namun, Junaidi tak bergeming dan tetap melanjutkan aksi meminta uang, bahkan tega memungut Rp100 ribu dari para anggota.
"Sebuah perilaku yang jauh dari etika seorang pemimpin organisasi profesi hukum," ujarnya.
Setelah berbagai perlakukan dari mantan Ketua PAI tersebut, Pablo mengaku berniat untuk mundur karena lelah dengan adanya dugaan praktik meminta uang ke anggota tersebut. Namun, Junaidi menahannya dan timbul kesepakatan, yakni dirinya siap mundur dari jabatan Ketua Umum.
Bahkan Junaidi juga sepakat menunjuk Rey Utami, istri Pablo, sebagai Ketua PAI yang baru. Setelah kesepakatan itu, Junaidi menyerahkan akta pendirian PAI dan Surat Keputusan (SK) Kemenkumham untuk diubah.
Namun, Junaidi malah meminta agar perubahan akta ini dilakukan tanpa Musyawarah Nasional (Munas) dan meminta tanda tangan Rakernas di Semarang diubah untuk memuluskan prosesnya. Pablo Benua yang mengaku taat hukum, menolak mentah-mentah permintaan manipulatif tersebut.
Selanjutnya, Pablo langsung menghubungi tiga pendiri PAI yang terdaftar di SK Kemenkumham. Diketahui, ketiga pendiri tersebut membenarkan bahwa Junaidi telah diberhentikan sebagai Ketua Umum PAI sejak 21 April 2025, berdasarkan surat keputusan dewan pendiri. Pemecatan ini sah karena didukung mayoritas dewan pendiri.
Ditambah lagi, SK Kemenkumham lama PAI sudah kedaluwarsa karena tidak didaftarkan ulang sejak 2022. Meskipun Munas di Bali pada Agustus 2022 kembali memilih Junaidi, pengurus baru tidak pernah didaftarkan ke Sistem Administrasi Hukum Umum (AHU).
"Junaidi juga sering memberhentikan dan mengganti Sekjen secara sepihak, makin memperparah mosi tidak percaya dari anggota," jelasnya.
Kekecewaan anggota PAI memuncak hingga lahirlah mosi tidak percaya yang ditandatangani oleh hampir 92 persen anggota. Mosi ini merinci serangkaian pelanggaran Junaidi yang salah satunya, ketidaktransparanan keuangan yakni tidak ada kejelasan mengenai pengelolaan dana organisasi sejak 2017.
Termasuk, meminjam sertifikat rumah anggota sebagai jaminan utang yang tak kunjung dilunasi, hingga dugaan menerima uang sumpah advokat dan perpanjangan KTPA yang tak pernah direalisasikan. Bahkan, ada tudingan tak senonoh Junaidi yang berpelukan dengan seorang wanita di depan anggota.
"Di sini poinnya adalah memerintahkan agar mengeluarkan saudara Junaidi dari posisinya sebagai dewan pendiri," tuturnya.
Oleh sebab itu, PAI kini resmi dipimpin oleh Rey Utami didampingi Dodi Haribowo sebagai Wakil Ketua Umum, Surya Hamdani sebagai Sekretaris, Rangga sebagai Wakil Sekretaris, Christopher Anggasastra sebagai Bendahara, dan Pablo Putra Benua sebagai Pengawas.
Pablo menyebut kepengurusan baru ini dipastikan telah memiliki akta notaris yang sah dan telah didaftarkan di Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM pada 20 Juni 2025.
Diketahui sebelumnya, Badan Pimpinan Pusat (BPP) Perkumpulan Advocaten Indonesia (PAI) melaporkan Pablo Putra Benua beserta istrinya Rey Utami ke Bareskrim Polri terkait kasus dugaan pemalsuan akta autentik. Laporan itu teregister dengan nomor LP/B/341/VII/2025/SPKT/BARESKRIMPOLRI tanggal 21 Juli 2025.
Sekretaris Jenderal BPP PAI, Ahmad Yazdi mengatakan bahwa terlapor diduga melanggar Pasal 266 KUHP tentang tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik atau menggunakan akta autentik yang dipalsukan.
"Rey Utami dan Pablo Putra Benua diduga memalsukan keterangan dalam dokumen akta, di mana struktur kepengurusan organisasi diubah tanpa persetujuan yang sah. Ketua umum diganti menjadi Rey Utami," kata Yazdi di Bareskrim Polri, Senin (21/7).
Selain Rey Utami dan Pablo Benua, BPP PAI juga turut melaporkan beberapa orang lainnya. Di antaranya, Edi Utama, Christopher Anggasastra, Rangga Ahadi Putra, Surya Hamdani, dan Doddy Harrybowo Soekarno.
Diketahui dalam akta tersebut, Pablo Benua menjadi Dewan Pengawas BPP PAI, lalu iparnya, Christopher Anggasastra menjadi Bendahara dan rekannya, Rangga Ahadi Putra menjadi Wakil Sekretaris Jenderal. Perubahan kepengurusan tersebut pun dilakukan dengan cara sepihak.
"Ini jelas merupakan pembajakan organisasi secara formil dan melanggar hukum, dengan memalsukan keterangan dalam akta autentik seperti itu," ujarnya. (Fik/M-3)